Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah kondisi nilai tukar rupiah yang tengah melemah, Bank Indonesia (BI) pasang badan untuk menjaga. Akibatnya, posisi cadangan devisa Indonesia akhir Februari 2018 tercatat sebesar US$ 128,06 miliar atau turun dibandingkan dengan posisi akhir Januari 2018 yang sebesar US$ 131,98 miliar.
Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan, meski begitu, BI berusaha berhati-hati dalam merespon dinamika pergerakan nilai tukar rupiah yang sedang berlangsung.
“Respons BI ditempuh untuk mengelola dan menjaga fluktuasi (volatilitas) nilai tukar rupiah agar tetap sejalan dengan kondisi fundamental makroekonomi domestik, dengan juga memperhatikan dinamika pergerakan mata uang negara lain,” kata Agus dalam keterangan tertulis, Rabu (7/3).
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan bahwa nilai tukar rupiah sudah di bawah nilai wajarnya atau undervalue. Namun demikian, kebijakan moneter terutama suku bunga di BI masih kurang alasan untuk naik meskipun kenaikan dari Fed Fund Rate diperkirakan terjadi lebih dari empat kali,
"Bukan berarti kalau Fed naikkan terus BI naikkan bunga. Buktinya Fed sudah naikkan bunga lima kali, dan BI bisa turunkan bunga delapan kali. Jadi penting sekali untuk kita bisa menjaga fundamental ekonomI," kata Mirza.
Kepala Kajian LPEM FEB UI Febrio N Kacaribu mengatakan, tekanan diperkirakan terjadi sepanjang tahun 2018 dengan probabilitas kenaikan FFR sebanyak 2-3 kali. Kemungkinan, BI akan mempertahankan rupiah dengan arah depresiasi di sekitar 3-4% tahun ini.
“Suku bunga kebijakan BI tidak perlu dinaikkan. Intervensi yang terukur dan tepat sasaran yang diperlukan saat ini,” ujarnya kepada KONTAN, Kamis (8/3).
Menurut Febrio, tingkat suku bunga kebijakan tidak cukup efektif untuk menyetop aliran modal jangka pendek. Yang dapat menahan dan bahkan menarik lagi aliran model adalah prospek perekonomian riil.
“Jadi dalam jangka pendek memang satu-satunya yang bisa dilakukan oleh BI adalah mensuplai dollar AS ke pasar dan membeli rupiah,” kata dia.
Oleh karena itu, cadangan devisa berguna untuk situasi seperti ini. Ia memberi contoh, pertengahan 2011 sampai dengan pertengahan 2013 adalah salah satu masa intervensi BI yang cukup panjang yang pernah terjadi.
Waktu itu, cadangan devisa turun dari US$ 123 miliar ke US$ 93 miliar dalam periode dua tahun. Dalam periode itu rupiah melemah dengan tingkat depresiasi 8,6% per tahun.
Adapun menurutnya, langkah pendalaman pasar finansial bisa dilakukan, tetapi bukan hal yang dilakukan dalam jangka pendek. Butuh 3-5 tahun lagi baru cukup meningkat, itu pun sangat ditentukan oleh kenaikan pendapatan per kapita.
Selain itu, kewajiban membawa masuk hasil ekspor juga dianggap tidak efektif. “Justru menimbulkan kesan panik. Jurus yang paling pas dalam jangka pendek (sekitar setahun ini) adalah intervensi dengan menggunakan cadangan devisa,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News