Reporter: Venny Suryanto, Bidara Pink | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya pemerintah dan Bank Indonesia untuk gotong royong berbagi beban atau burden sharing mendanai biaya krisis mulai menuai pro dan kontra. Bahkan, investor asing merespon negatif rencana pembagian beban ini.
Efeknya, pembicaraan burden sharing rupiah pada pekan lalu sempat mengalami tekanan menjadi Rp 14.566. Beberapa faktonya, "Kabar tentang second wave Covid-19, kemudian isu beredar dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait burden sharing," tandas Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo, di webinar bersama dengan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Jumat (3/7).
Burden sharing dilakukan demi memenuhi kebutuhan pembiayaan utang pemerintah dalam menangani pandemi virus corona Covid-19.
Tahun ini, dana yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk mendanai dampak krisi akibat pandemi virus corona di Indonesia mencapai Rp 903,46 triliun.
Hampir semua tambahan anggaran untuk penanganan krisis ini dibiayai dengan penerbitan surat utang negara lantaran penerimaan pajak seda.
Jumlah tambahan anggaran krisis itu terbagi dua, yakni pembiayaan publik atau public goods sebesar Rp 397,6 triliun dan non-public goods Rp 505,86 triliun.
Efeknya, pemerintah harus menambah anggaran membayar bunga utang hingga Rp 66,5 triliun per tahun.
Tambahan beban bunga utang Ini dengan asumsi bunga 7,36% dari tertimbang imbal hasil atau yield surat utang negara (SUN) 10 tahun periode Januari-Juni 2020.
Sesuai skema burden sharing, BI akan menanggung biaya sebesar Rp 35,9 triliun, atau 53,9% dari dari total beban bunga utang.
SELANJUTNYA>>>