Reporter: Dwi Nur Oktaviani | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Mardiasmo, dengan tegas menyatakan kalau BPKP akan memegang teguh pada ketentuannya bagi hasil migas yang diterapkan Indonesia yaitu 85% : 15%. Di mana negara domisili Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas (KKKS) harus membayar 85% untuk negara Indonesia dan 15% untuk kontraktor.
"BPKP tidak mau mengurangi porsi itu (85% : 15%) karena BPKP peduli pada penerimaan negara," ujar Mardiasmo seusai rapat dengan Komisi XI, Rabu (20/7).
Sebelumnya, Mardiasmo bilang kalau adanya penunggakan pajak migas itu terjadi karena perbedaan penghitungan tax treaty dan royalti. Maksudnya, di negara domisili KKKS membayar tarif pajak lebih rendah dari tarif branch profit tax dalam hal ini Pajak Bunga Dividen dan Royalti Minyak dan Gas senilai 20%.
Baginya tarif pajak yang harus diberlakukan untuk KKKS asing itu adalah 20%, sesuai UU Minyak dan Gas tahun 2003. Tapi saat ini sesuai dengan tarif pajak di negara asalnya, perusahaan yang berasal dari Inggris hanya membayar dengan tarif pajak 10% dan 12,5% untuk perusahaan dari Malaysia. “Itu kan dari 20% menjadi 10% dan dari 20% menjadi 12,5%," jelasnya.
Mardiasmo pun menyatakan masalah tax treaty sangat mempengaruhi porsi 85% yang didapat pemerintah. Soalnya, PBDR (Percent Branch Profit Taxes) yang seharusnya didapat adalah 20%. "Itu mengurangi porsi. Tidak lagi jadi 85%. Itu yang kami pegang. Kalau mengurangi itu kan berarti ada porsi pemerintah yang berkurang. Berarti ada yang bolong dong," jelasnya.
Makanya, bagi Mardiasmo adanya perbedaan pajak itu mengakibatkan perusahaan KKKS itu kurang bayar pajak alias menunggak pajak. Kalau perusahaan itu kurang bayar maka secara langsung Direktorat Jenderal Pajak akan membuat surat keterangan kurang pajak. "Kalau dia (KKKS) sudah dapat surat kurang pajak. Tapi kalau dia tidak mau bayar dia bisa mengajukan keberatan dan banding. Jika banding ditolak ya bisa diteruskan ke pengadilan pajak," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News