Reporter: Noverius Laoli |
JAKARTA. Kasus manipulasi surat pajak Perusahaan Sawit Asian Agri Group semakin memanas. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (15/9), menyatakan total kekurangan pajak Asian Agri Selama Empat tahun (2002-2005) mencapai Rp 1,294 triliun. Jumlah tersebut merupakan pajak yang belum dibayarkan dari 14 perusahaan yang dimiliki Asian Agri Group.
Arman Sahri Harahap, Kepala Bidang Investigasi BPKP DKI Jakarta dalam kesaksiannya di hadapan majelis yang di ketua Martin Ponto di PN Jakarta Pusat mengatakan, dari hasil audit yang dilakukan instansinya, BPKP telah mengaudit ke-14 perusahaan wajib pajak tersebut.
Dari jumlah tersebut, laporan dari 10 perusahaan sudah bisa diserahkan kepada pihak yang berkepentingan seperti pengadilan, Kejaksaan dan Asian Agri, sedangkan sisanya masih dijilid. Namun majelis hakim memutuskan agar laporan tersebut diserahkan sekaligus pada hari Kamis (22/9).
Dari hasil audit tersebut, Arman mengklaim BPKP telah menemukan empat modus terjadinya penggelapan pajak yang berakibat kerugian bagi negara. Pertama adalah modus dengan memperbesar harga pokok penjualan dari yang sebenarnya. Hal itu ditemukan dengan adanya pengiriman uang kepada dua orang pegawai Asian Agri dan biaya tersebut dimasukkan dalam biaya, akibatnya harga pokok penjualan melambung lebih tinggi dari yang sebenarnya.
Modus kedua dilakukan Asian Agri dengan menjual produk kepada perusahaan terafiliasi dengannya di luar negeri dengan harga yang sangat rendah. Modus ketiga, terkait keuangan manajemen yakni dimasukkan jasa konsultan dalam biaya, yang sebenarnya tidak ada. Modus keempat adalah dengan membebankan biaya ke dalam keuangan, perhitungan laba rugi yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
BPKP meneliti Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPH dan lampirannya yang disampaikan ke kantor pajak Tanah Abang 1 dan 2. Lalu dengan membandingkan dengan buku besar Asian Agri. Langkah selanjutnya dengan dibandingkan dengan hasil audit akuntan publik. BPKP menghitung nilai transaksi yang ada buktinya tapi tidak ada di pembukuan. Lalu menghitung substansinya.
Menanggapi kesaksian tersebut, salah seorang kuasa hukum Asian Agri, Muhammad Assegraf mempertanyakan perbedaan jumlah kerugian negara antara Dirjen Pajak yang disampaikan dalam dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum sebesar Rp 1,259 triliun dan BPKP sebesar Rp 1,294 triliun. “Perbedaan perhitungan ini perlu diperjelas dulu,” ujarnya usai sidang.
Selain itu, potensi kerugian negara dalam perkara ini masuk dalam tindak pidana atau utang pajak. Soalnya, persoalan di sini adalah kekurangan bayar pajak, maka kekurangan tersebut wajib dibayar. Sedangkan dalam kasus ini ada yang dipidana, jadi simpang siur.
Sebelumnya, JPU mendakwa Suwir Laut, Manager Pajak, Asian Agri Group, telah membuat laporan yang keliru mengenai Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak perusahaan. Hal tersebut dinilai merugikan negara sebesar Rp 1,259 miliar. Terdakwa diduga menyampaikan SPT Pajak secara tidak benar sejak tahun 2002-2005. JPU menjerat Suwir Laut dengan pasal 39 ayat 1 huruf C Undang-Undang No. 16 tahun 2000 tentang pajak. Ancaman dari jerat pasal itu berupa kurungan penjara enam tahun dan diwajibkan membayar denda yang nilainya empat kali dari nilai kerugian yang diderita negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













