Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dirancang tidak hanya untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak dan ibu hamil di Tanah Air. tetapi juga sebagai penggerak ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja.
Pasca setahun berlangsung, apakah cita-cita program ini sudah terwujud?
Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan menilai, secara teoritis semestinya program MBG mampu menstimulasi aktivitas ekonomi dalam skala besar, terutama melalui sektor-sektor padat karya seperti pertanian, perikanan, dan pengolahan makanan.
Nah dengan proses penyediaan makanan akan mendorong peningkatan di sektor tersebut untuk diolah melalui dapur-dapur MBG, sehingga berpotensi menciptakan lapangan kerja yang luas.
Namun, ia menambahkan bahwa setelah berjalan sekitar satu tahun, dampak MBG terhadap perekonomian secara agregat masih belum signifikan.
Baca Juga: 3,94 Juta Orang Diprediksi Naik Kereta Api Jarak Jauh pada Momen Nataru 2025/2026
“Memang kalau dilihat data agregatnya, walaupun program MBG sudah bisa menciptakan berapa ratus ribu lapangan kerja gitu, di sektor pertanian ataupun yang terkait dengan dapur MBG, cuma secara agregat makroekonominya pengaruhnya itu masih belum besar,” tutur Deni kepada Kontan, Jumat (19/12/2025).
Hal itu disebabkan oleh besarnya alokasi anggaran sekitar Rp 71 triliun lebih pada tahun ini yang belum berdampak optimal karena tingkat penyerapan dan penggunaan dana masih sangat terbatas, dengan realisasi yang baru mencapai sebagian kecil serta jumlah dapur MBG yang masih relatif sedikit.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan belanja program MBG hingga akhir November 2025 telah mencapai Rp 52,9 triliun, atau baru terserap 74,6% dari target pagu APBN 2025 yang ditetapkan sebesar Rp 71 triliun.
Deni menegaskan, apabila anggaran MBG tersebut tidak diiringi dengan implementasi yang baik, maka akan muncul kehilangan kesempatan atau opportunity loss, karena sumber daya yang ada seharusnya dapat dimanfaatkan pada sektor lain, yang berpotensi memberikan dampak ekonomi lebih tinggi, baik terhadap peningkatan output maupun penciptaan lapangan kerja.
Dalam kesempatan berbeda, Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengungkapkan, kelemahan program MBG adalah pada pengelolaan yang sentralistis, dari mulai kepemilikan dapur hingga supplier bahan baku.
“Akibatnya, MBG tidak optimum menggerakkan ekonomi daerah dan kerakyatan,” ungkap Wija.
Menurutnya, kondisi tersebut akan berbeda apabila program MBG didisain sebagai program yang partisipatif, dimana Pemda dan komunitas lokal ikut dilibatkan dan berkontribusi. Pun dengan anggaran yang digelontorkan akan menjadi katalisator bagi anggaran yang lebih besar dan bertumbuhnya aktifitas ekonomi lokal.
Terkait dengan penciptaan lapangan kerja, ia menilai, pola sentralistis non-prtisipatoris ini membuat lapangan kerja yang diciptakan sangat terbatas.
“Berbagai perbaikan harus dilakukan, sehingga MBG mempunyai dampak ekonomi dan sosial yang lebih besar,” tandasnya.
Baca Juga: Purbaya Klaim Sistem Coretax Sudah Lebih Baik
Selanjutnya: Kilang Pertamina Indonesia Luncurkan BBM UltraDex Setara Euro 5
Menarik Dibaca: Promo Alfamart Serba Gratis 19-21 Desember 2025, BTS Coffee-Lasegar Beli 1 Gratis 1
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













