kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.483.000   -4.000   -0,16%
  • USD/IDR 16.757   21,00   0,13%
  • IDX 8.610   -8,64   -0,10%
  • KOMPAS100 1.188   4,72   0,40%
  • LQ45 854   1,82   0,21%
  • ISSI 307   0,26   0,08%
  • IDX30 439   -0,89   -0,20%
  • IDXHIDIV20 511   -0,15   -0,03%
  • IDX80 133   0,33   0,25%
  • IDXV30 138   0,47   0,34%
  • IDXQ30 140   -0,47   -0,33%

Relaksasi Tarif dan Kenaikan UMP Belum Cukup Dorong Konsumsi Masyarakat Tahun Depan


Jumat, 19 Desember 2025 / 17:21 WIB
Relaksasi Tarif dan Kenaikan UMP Belum Cukup Dorong Konsumsi Masyarakat Tahun Depan
ILUSTRASI. Pekerja melintas di trotoar kawasan perkantoran Sudirman (KONTAN/Fransiskus Simbolon)


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Avanty Nurdiana

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah mengeluarkan berbagai jurus untuk menjaga konsumsi masyarakat di tahun depan.

Misalnya menahan kenaikan sejumlah tarif, mulai dari pajak pertambahan nilai (PPN), cukai hasil tembakau (CHT), hingga penundaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).

Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto juga telah meneken Peraturan Pemerintah pengupahan, yang menetapkan formula kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: 3,94 Juta Orang Diprediksi Naik Kereta Api Jarak Jauh pada Momen Nataru 2025/2026

Kendati begitu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai, kebijakan tersebut bersifat moderat dan lebih mencerminkan upaya meredam tekanan jangka pendek ketimbang solusi struktural bagi konsumsi domestik.

Menurut Yusuf, menahan tarif PPN menjadi 11% dan menunda kenaikan tarif CHT jelas memberi ruang napas jangka pendek, terutama bagi kelas menengah yang dalam dua tahun terakhir posisinya makin terjepit. "Namun, kami juga perlu jujur bahwa ini lebih bersifat damage control ketimbang solusi struktural," kata Yusuf kepada Kontan, Jumat (19/12).

Yusuf menambahkan, penahanan tarif pajak memang membantu menahan inflasi agar tidak terjadi lonjakan harga yang membebani masyarakat. Namun, kebijakan tersebut sekaligus menjadi sinyal bahwa pemerintah menyadari kondisi daya beli masyarakat yang masih rapuh.

"Kalau kondisi konsumsi benar-benar kuat, menunda pajak tentu tidak akan jadi pilihan," katanya.

Terkait kenaikan UMP 2026, Yusuf mengakui secara teori kebijakan tersebut berpotensi meningkatkan upah riil, terutama jika inflasi tetap terkendali. Namun, ia mengingatkan asumsi tersebut sangat bergantung pada disiplin harga di tingkat pelaku usaha.

"Inflasi tidak hanya datang dari pajak, tapi juga dari faktor distribusi, harga pangan, dan ekspektasi pelaku usaha. Begitu pengusaha mengantisipasi kenaikan upah, sebagian biaya itu tetap berpotensi diteruskan ke harga," jelas Yusuf.

Selain itu, dampak kenaikan UMP dinilai masih terbatas karena lebih banyak dirasakan pekerja sektor formal. Sementara itu, mayoritas tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal yang tidak otomatis menikmati kenaikan upah. "Jadi narasi bahwa kenaikan UMP akan langsung mengerek konsumsi nasional perlu dibaca dengan hati-hati. Tanpa mekanisme transmisi yang jelas, efeknya bisa berhenti di kelompok tertentu saja," katanya.

Yusuf juga menyoroti potensi multiplier effect yang kerap diharapkan dari kenaikan upah. Menurutnya, perubahan pola konsumsi kelas menengah yang semakin condong ke ritel modern dan platform digital membuat limpahan manfaat ke ekonomi lokal, seperti UMKM dan pasar tradisional, tidak sebesar asumsi awal.

Baca Juga: Purbaya Klaim Sistem Coretax Sudah Lebih Baik

Dengan berbagai faktor tersebut, Yusuf memproyeksikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun depan akan tetap bertahan, namun cenderung moderat. "Saya cenderung realistis, bahkan agak skeptis terhadap optimis berlebihan. Konsumsi rumah tangga memang masih akan jadi penopang PDB, tapi saya melihat ruangnya terbatas," imbuh Yusuf.

Yusuf memperkirakan pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih akan berada pada kisaran 4,7% hingga 5%. "Ini bukan karena ekonomi kuat, melainkan karena belum ada alternatif penopang lain yang signifikan," pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institite for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menambahkan, keputusan pemerintah menahan kenaikan PPN, cukai MBDK, dan CHT pada 2026 secara makro berfungsi sebagai instrumen stabilisasi konsumsi, bukan stimulus agresif.

Kebijakan ini efektif menahan inflasi administered prices sehingga daya beli riil rumah tangga tidak tergerus dari sisi harga. "Dalam konteks konsumsi yang selama dua tahun terakhir cenderung defensif, penahanan tarif lebih tepat dibaca sebagai upaya mencegah penurunan konsumsi, bukan mendorong lonjakan permintaan baru," kata Rizal.

Di sisi lain, kenaikan UMP 2026 memang memberi tambahan pendapatan nominal, tetapi dampak makronya terhadap konsumsi perlu dibaca secara proporsional.

Secara agregat, UMP hanya mencakup sebagian kecil pekerja formal, sementara mayoritas tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal atau semi-formal dengan penyesuaian upah yang tidak otomatis.

Artinya, kata Rizal, transmisi kenaikan UMP ke konsumsi nasional bersifat parsial dan tidak merata. "Kenaikan upah lebih banyak berfungsi menjaga konsumsi dasar kelompok rentan ketimbang mendorong konsumsi diskresioner," imbuh Rizal.

Rizal menambahkan, persoalan utama konsumsi Indonesia saat ini bukan sekadar level upah, tetapi kualitas pendapatan. Pasalnya, banyak rumah tangga menghadapi income squeeze akibat produktivitas yang stagnan, jam kerja yang belum pulih sepenuhnya, serta kenaikan biaya hidup non-administered seperti perumahan, transportasi, dan pendidikan.

Baca Juga: KPK Sebut OTT Jaksa di Banten Terkait Pemerasan WNA Korsel

"Dalam kondisi ini, tambahan pendapatan dari UMP cenderung dialokasikan untuk kebutuhan wajib dan pembayaran utang, sehingga efek pengganda konsumsi relatif rendah," katanya.

Rizal memperkirakan konsumsi masih akan tumbuh pada tahun 2026, tetapi dalam pola moderat (cautious consumption). Hal ini mencerminkan ekspektasi rumah tangga yang belum sepenuhnya optimistis di tahun depan. Dengan demikian, kombinasi penahanan tarif dan kenaikan UMP lebih berperan sebagai bantalan stabilitas konsumsi, bukan akselerator pertumbuhan.

Menurut Rizal, jika pemerintah ingin konsumsi benar-benar menjadi penopang utama ekonomi 2026, kebijakan upah dan harga perlu dilengkapi dengan agenda yang lebih struktural, yakni penciptaan lapangan kerja berkualitas, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan penguatan belanja sosial dan fiskal yang lebih tepat sasaran. "Tanpa hal tersebut, konsumsi rumah tangga akan stabil tetapi tetap rapuh dan moderat," papar dia.

Selanjutnya: KRL Beroperasi hingga jam 03.00 WIB pada Malam Tahun Baru 2026

Menarik Dibaca: Promo Alfamart Serba Gratis 19-21 Desember 2025, BTS Coffee-Lasegar Beli 1 Gratis 1

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×