Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 1 tahun 2022 mengenai optimalisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pemerintah mengamanatkan kepada 30 Kementerian/Lembaga untuk turut serta dalam dalam upaya optimalisasi tersebut.
Salah satu institusi yang memulai implementasi dari Inpres tersebut ialah Kementerian ATR/BPN yang mulai 1 Maret nanti pemohon pendaftaran peralihan hak atas tanah karena jual beli merupakan peserta aktif dalam program JKN dan harus melengkapi proses dengan fotokopi Kartu Peserta BPJS Kesehatan.
Dadan S Suharmawijaya Anggota Ombudsman RI mengatakan pro dan kontra dari setiap kebijakan publik. Oleh karenanya sudah sebuah keniscayaan bahwa kebijakan yang dilekatkan perlu dilakukan uji publik.
Baca Juga: Saldo JHT Bisa Dicairkan Sebagian, Simak Syarat dan Tata Cara Pencairannya Ini
Pada kebijakan implementasi Inpres No 1 tahun 2022 oleh Kementerian ATR/BPN, pemerintah juga diminta untuk kembali meninjau pelayanan kesehatan.
Misalnya saja untuk masyarakat yang ingin mendaftar sebagai peserta terutama kelompok tidak mampu atau penerima bantuan iuran (PBI) dinilai tidaklah mudah.
"Banyak masyarakat masuk anggota PBI tapi kita lihat tidak segampang itu juga bagi masyarakat miskin untuk mendaftarkan diri lewat pemerintah daerah," kata Dadan dalam Diskusi Publik Ombudsman virtual, Rabu (23/3).
Kemudian di sisi lain masih banyak perusahaan yang memiliki kewajiban mendaftarkan kepesertaan karyawannya belum optimal.
Baca Juga: Cara Mudah Cetak Kartu BPJS Kesehatan Jika Hilang, Penting Dimiliki
Ombudsman menyebut masyarakat dapat sukarela dan tertarik tergabung dengan BPJS Kesehatan apabila permasalahan tertangani dengan baik. Seperti masalah pelayanan kesehatan di tingkat fasyankes. Di mana sejauh ini peserta BPJS Kesehatan dianggap customer kelas dua.
"Jadi dipisahkan terkait dengan pelayanan kesehatannya dengan non BPJS, masyarakat bisa tertarik ke BPJS apabila masalah seperti itu hilang. Sama aja bentuk layanan kualitas layanan sama aja. Itu prasyarat agar masyarakat berbondong-bondong jadi peserta BPJS Kesehatan segmen mandiri," kata Dadan.
David Bangun Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan mengatakan pihaknya tidak memungkiri bahwa pasien BPJS Kesehatan kerap dinomor duakan. Hanya saja kini isu tersebut semakin diperbaiki oleh BPJS Kesehatan.
"Pasien BPJS sering dinomor duakan kami tidak pungkiri sepenuhnya. Tapi makin ke sini kami makin baik, di awal implementasi BPJS tahun 2014 ketidakadilan merasa diperlakukan second class itu dominan tapi makin ke sini berangsur-angsur makin baik," kata David.
Hal tersebut terlihat dari hampir semua fasilitas kesehatan jumlah pasien BPJS Kesehatannya di atas 80%. David memberi contoh di RS Sardjito Jogja 80% merupakan pasien BPJS Kesehatan.
Baca Juga: BPJS Kesehatan Jadi Syarat Jual Beli Tanah, BPN: Untuk Optimalisasi Kepesertaan
"Sehingga faskes makin ke sini makin menyadari bahwa hidupnya mereka, layanan mereka itu adalah untuk BPJS. Ini yang selalu kita perbaiki sehingga ke depan semua masyarakat itu bukan karena wajib tapi karena memang membutuhkan kesehatan," kata David.
David menjelaskan berdasarkan Undang-Undang 40 tahun 2004 dan aturan turunannya menyebutkan JKN bersifat wajib bagi masyarakat. Namun pilar lainnya adalah gotong royong dan kebutuhan. BPJS Kesehatan berharap masyarakat dapat memandang bahwa BPJS Kesehatan merupakan sebuah kebutuhan dan solusi masalah kesehatan.
"Jika ada kekecewaan dan lainnya itu adalah masukan bagi kami untuk memperbaiki pelayanan layanan kami," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News