Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepala Pusat Kebijakan Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementrian Keuangan (Kemenkeu) Abdurohman mengungkapkan, Indonesia telah pulih dari krisis pandemi berdasarkan perhitungan output barang dan jasa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga kuartal III 2021, bahkan hingga November 2021.
Selain itu dampak krisis global akibat pandemi terhadap Indonesia juga dinilai lebih minim, lantaran Indonesia tidak termasuk rantai pasokan manufaktur global.
Kendati demikian, Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memberi peringatakan. Ia mengungkapkan, jika hanya mengandalkan boom commodity pada pertumbuhan ekonomi sifatnya akan temporer.
Baca Juga: Pariwisata Mulai Pulih, Tiket.com Catat Pertumbuhan Bisnis Hingga 40% Pada 2021
Sebab selain kualitas ekspornya rendah, tantangan pun akan makin kompleks terkait dengan isu lingkungan hidup dimana negara konsumen komoditas terbesar seperti Amerika Serikat (AS), China dan Eropa yang tengah menggeser ketergantungan terhadap energi fosil ke energi terbarukan.
“Melalui windfall komoditas karena efek dasar yang rendah menjadi tidak bisa diandalkan sebagai motor pemulihan tunggal. Malah yang menjadi pekerjaan berat pemulihan ekonomi adalah mendorong konsumsi domestik,” kata Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (26/12).
Menurutnya, selain porsi konsumsi cukup dominan, sebagian kelompok juga dinilai masih ragu untuk berbelanja karena pelonggaran ekonomi belum maksimal. Di sisi lain, pemerintah harus menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok karena inflasi global mempunyai efek kepada Indonesia.
Selain itu, Ia juga mengatakan jika dilihat dari hasil windfall komoditas, ternyata malah menjadi beban bagi konsumen, karena harga minyak goreng naik, harga telur yang juga naik karena harga jagung sebagai pakan ayam di pasar internasional naik 25% sejak awal 2021 (year to date).
Baca Juga: Sambut 2022, Ini Strategi Manajer Investasi Meracik Portofolio Reksadana Campuran
“Kalau ingin pemulihan solid sebaiknya pemerintah mulai atur lagi insentif fiskal dan non fiskal pada 2022 agar pas dengan kondisi pasca turunnya risiko pandemi,” sambung Bhima.
Lebih lanjut, Ia memperhitungkan, ke depannya, pertumbuhan ekonomi bisa capai 5% namun dengan menghadapi tantangan yang harus segera direspon pemerintah yakni, inflasi tinggi.
Sebab dengan inflasi tinggi bisa menguras daya beli kelompok menengah bawah, termasuk implikasi dari naiknya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kemudian volatilitas nilai tukar dan kenaikan suku bunga juga akan membuat biaya pinjaman pengusaha lebih mahal lagi di tahun depan.
Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, keluarnya Indonesia dari krisis ekonomi perlu dilihat dari sosial ekonomi seperti tingkat kemiskinan dan pengangguran.
Ia mencontohkan, angka pada Agustus 2021 mencapai 6,49%, angka ini relatif lebih tinggi dibandingkan tingkat pengangguran sebelum pandemi yang mencapai 5,28% (Agustus 2019).
“Kondisi yang sama juga dapat dilihat angka tingkat kemiskinan. Hal ini artinya apa? Kondisi ketenagakerjaan di dalam negeri belum kembali seperti sebelum pandemi, masih ada tenaga kerja yang belum terserap kembali ke pasar tenaga kerja,” tutur Yusuf.
Baca Juga: BSI Siapkan Aksi Korporasi pada Tahun Depan, Begini Rekomendasi Saham BRIS
Selain itu, Yusuf bilang, kenaikan ekspor juga belum sepenuhnya memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengurangan pengangguran. Lebih jauh, Ia memang sepakat bahwa rendahnya keterkaitan rantai pasokan manufaktur global, menjadi berkah ketika krisis Covid-19 terjadi.
Akan tetapi, menurutnya hal tersebut juga yang akhirnya meninggalkan pekerjaan rumah setelah krisis, mengingat keterkaitan rantai pasok global merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh dalam upaya mendorong kembali proses reindustrialisasi sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi di atas 5% di kuartal IV 2021, atau ada di kisaran 6%-7%.
Ke depan, Yusuf memperkirakan dalam jangka pendek prospek ekonomi masih akan dibayangi oleh pandemi Covid-19 terutama oleh varian baru, sehingga upaya mitigasi di awal menjadi penting dalam menjaga target pertumbuhan ekonomi jangka pendek (2022 dan 2023).
Sementara, untuk jangka menengah panjang, prospek perekonomian akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah untuk menjalankan reformasi struktural diantaranya dengan meningkatkan kualitas SDM manusia melalui peningkatan pendidikan dan juga skill tenaga kerja dan juga upaya melakukan reindustrialisasi melalui campuran kebijakan antara fiskal, moneter dan juga sektor riil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News