Sumber: Antara | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Badan Nasional Penanggulangan Bencana bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada hingga Senin (19/9) membangun 72 unit sistem peringatan dini longsor selama tiga tahun terakhir sejak 2014.
"Sebagian besar sistem peringatan dini longsor tersebut dipasang di Jawa yang memiliki risiko tinggi longsor," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho lewat keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Senin (19/9).
Beberapa tempat tersebut di antaranya di Kabupaten Banjarnegara, Magelang, Kulonprogo, Banyumas, Cianjur, Bandung Barat, Trenggalek, Sukabumi, Bogor, Sumedang, Wonosobo, dan Garut.
Alat juga dipasang di daerah lain di luar Jawa seperti di Kabupaten Nabire, Aceh Besar, Buru, Lombok, Bantaeng, Sikka, Kerinci, Agam, Kota Manado dan lainnya.
Pada 2014, kata Sutopo, atas perintah Presiden Joko Widodo pascalongsor di Banjarnegara, BNPB, dan UGM memasang 20 unit sistem peringatan dini longsor. Kemudian dilanjutkan 35 unit pada 2015 dan 17 unit pada 2016.
Sistem peringatan dini longsor meliputi tujuh subsistem yang dibangun meliputi sosialisasi, penilaian risiko, pembentukan kelompok siaga bencana tingkat desa, pembuatan denah dan jalur evakuasi, penyusunan prosedur operasi standar, pemantauan dan gladi evakuasi serta membangun komitemen pemda dan masyarakat.
Jadi, kata dia, masyarakat setempat dilibatkan secara langsung dalam proses pembangunan sistem peringatan dini longsor. Masalah utama dalam pembangunan sistem peringatan dini adalah aspek kultural.
Artinya, lanjut dia, masyarakat harus memahami ancaman di sekitarnya kemudian mampu beradaptasi dan melakukan antisipasi terhadap ancaman yang ada. Informasi dari sistem peringatan dini dipercaya menjadi bagian dari perilaku kehidupan sehari-hari.
"Ini adalah tantangan yang sulit dalam membangun sistem peringatan dini bencana. Kita membutuhkan ratusan ribu unit sistem peringatan dini longsor untuk menjaga seluruh daerah rawan longsor. Butuh biaya yang sangat besar," katanya.
Oleh karena itu, kata Sutopo, partisipasi dari pemda, dunia usaha dan masyarakat diperlukan. Jika hanya mengandalkan semuanya dari pemerintah karena terbatas jumlah dan sebaran yang dapat dibangun mengingat luasnya daerah rawan longsor di Indonesia.
Selama 2016, terjadi 1.569 kejadian bencana di Indonesia. Sedikitnya 265 orang tewas, 310 orang luka-luka, 2,1 juta jiwa menderita dan mengungsi dan 23.048 rumah rusak.
Dari total kejadian bencana tersebut, banjir dan longsor adalah yang paling dominan. Banjir adalah jenis bencana yang paling banyak kejadiannya selama 2016, yaitu 554 kejadian dan menimbulkan 72 orang tewas, 93 orang luka-luka dan 1,9 juta jiwa menderita dan mengungsi.
Namun longsor adalah jenis bencana paling mematikan. Dari 349 kejadian longsor selama 2016, longsor menyebabkan 130 orang tewas, 63 orang luka dan 18.728 jiwa mengungsi dan menderita.
Dia mengatakan ada 40,9 juta jiwa masyarakat Indonesia yang terpapar dari bahaya longsor skala sedang hingga tinggi. Artinya mereka bertempat tinggal di daerah bahaya longsor yang dapat terjadi kapan saja, umumnya saat terjadi hujan lebat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News