Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
Nirwala sendiri tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa Bea Cukai memberikan kelonggaran hingga 40 kantor area sebelum memberikan teguran kepada pabrikan yang menjual rokok di bawah 85% HJE.
Sesuai PMK 188 tahun 2016, diketahui bahwa total kantor wilayah DJBC di seluruh pulau Jawa hanya meliputi 37 kantor area, yang terdiri 2 KPU dan 35 KPPBC.
Pengecualian cakupan pengawasan bea cukai (50% kantor wilayah atau 40 kantor area) inilah yang kemudian dipersoalkan karena tidak memiliki landasan yang jelas dan dinilai memperlebar praktik diskon rokok.
Baca Juga: Empat pejabat Bea Cukai jadi tersangka kasus impor tekstil di Batam
Dengan adanya pengecualian ini, tujuan pengontrolan predatory pricing yang dinyatakan Nirwala menjadi tidak tercapai. Klausul pengecualian tersebut juga bertolak belakang dengan upaya pengendalian konsumsi rokok dan mengancam penerimaan negara.
Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) tahun 2019 menyebutkan, potensi kehilangan pendapatan negara dari PPh badan akibat diskon rokok mencapai Rp 1,73 triliun. Temuan Peneliti Kebijakan Publik Emerson Yuntho menunjukkan, potensi kehilangan pendapatan itu bertambah menjadi Rp 2,6 triliun di tahun 2020.
Sebelumnya, Direktur Indef Tauhid Ahmad menjelaskan, muncul beberapa persoalan di lapangan terkait pengawasan produk rokok yang menjual di bawah 85% HJE.
“Terdapat indikasi merek rokok tidak sesuai dengan batas di wilayah yang disurvei, sehingga tidak dikenakan penyesuaian seperti yang diatur,” ujar Tauhid.