Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Langkah pemerintah untuk mengempiskan defisit transaksi berjalan melalui berbagai kebijakan ditengarai akan berpengaruh terhadap kinerja ekspor. Salah satunya yaitu mengenai rencana untuk menjalankan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Dalam beleid tersebut mewajibkan pengusaha tambang untuk menggelar kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri agar memperoleh manfaat dari nilai tambah dari produk mineral. Dengan begitu, seluruh pasokan mineral mentah hanya boleh dijual di pasar domestik saja dan tidak boleh diekspor.
Nilai ekspor mineral Indonesia pun tergolong besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari Januari hingga Oktober 2013 nilai ekspor bahan bakar mineral mencapai US$ 20,49 miliar. Jumlah ini turun 6,41% dibanding periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 21,9 miliar.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Enny Sri Hartati menilai pemerintah harus berhati-hati dalam menerapkan aturan ini. Jangan sampai aturan pelarangan ekspor mineral mentah ini sama kasusnya seperti yang terjadi pada rotan.
Enny menjelaskan, waktu itu pemerintah melarang ekspor rotan mentah. Namun pada implementasinya petani rotan dalam negeri menjadi rugi karena industri dalam negerinya sendiri tidak siap. "Industri pengrajin rotan dalam negeri tidak mampu beli tunai rotannya ke petani rotan," papar Enny.
Akhirnya ekspor rotan pun diperbolehkan kembali oleh pemerintah karena justru membuat ketidakstabilan ekonomi. Maka dari itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) ini mengharapkan pemerintah perlu menyiapkan industri dalam negerinya sendiri sebelum memberlakukan pelarangan ekspor mineral mentah.
Hilirisasi yang tidak siap dengan tidak adanya dukungan insentif bagi industri hilir menjadi masalah utama yang perlu diselesaikan. Jangan sampai nanti kita malah mengalami kerugian dua kali. "Rugi karena penurunan ekspor mineral mentah dan rugi karena industri dalam negeri mandeg," tukas Enny.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menuturkan dampak yang diberikan atas kebijakan tersebut menurutnya hanya jangka pendek saja. Justru kata dia, kebijakan ini akan bagus dalam jangka panjang untuk menciptakan nilai tambah bagi produksi dalam negeri. "Dan nilai tambah itu yang kita harapkan," ujar Agus akhir pekan lalu.
Sekedar mengingatkan, pada triwulan III 2013 defisit transaksi berjalan mencapai 3,8% dari PDB atau sebesar US$ 8,4 miliar. Jumlah ini turun dibanding triwulan sebelumnya yang mencapai 4,4% dari PDB dengan US$ 9,9 miliar. Di tahun depan, BI ingin menurunkan defisit ini hingga berada di kisaran 2,6%-2,7% dari PDB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News