Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Bank Indonesia meminta perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) maupun pihak swasta untuk melakukan transaksi hedging atas pinjaman utang valuta asing yang dilakukan.
Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengungkapkan, meski pihak bank sentral telah melakukan penyempurnaan ketentuan terkait transaksi swap lindung nilai dengan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.15/17/PBI/2013 yang berlaku pada 3 Februari 2014, justru belum banyak perusahaan BUMN yang menggunakan transaksi ini.
Padahal salah satu tujuan transaksi hedging adalah meminimalkan risiko nilai tukar dan meningkatkan kegiatan investasi di Indonesia. Dalam penyempurnaan aturan ini, BI memperpanjang masa jatuh tempo (tenor) hedging swap valas menjadi maksimal tiga tahun dimana sebelumnya tenor hanya selama tiga bulan, enam bulan dan 12 bulan saja.
"Kami sudah mengaktifkan hedging, tapi banyak perusahaan-perusahaan termasuk BUMN banyak meminjam dalam valuta asing tapi tidak melakukannya. Mesti hati-hati bagi pihak yang melakukan tindak usaha dengan meminjam valuta asing padahal penghasilannya rupiah dan tidak mengelola risiko nilai tukarnya," ujar Agus di Gedung BI, Jakarta, Kamis (6/3).
Lebih lanjut Agus mengungkapkan, perusahaan BUMN atau swasta yang tahun lalu membukukan kerugian dari nilai tukar atau currency, artinya tidak mengelola risiko nilai tukar dengan baik. Sebab, kerugian akibat nilai tukar akan mengakibatkan kerugian perusahaan secara keseluruhan.
Agus meminta bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia hendaknya fokus dalam melakukan kegiatan usahanya dan tidak mengambil risiko dari nilai tukar mata uang. Karena itu, lanjut Agus, Bank Indonesia menyediakan fasilitas lainnya, berupa Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) salah satunya dengan Bank of Korea.
Secara khusus, fasilitas ini akan menjamin penyelesaian transaksi perdagangan dalam mata uang lokal antara Indonesia dengan Korea. BCSA ini, menurut Agus, dapat mengurangi risiko-risiko nilai tukar mata uang, risiko jatuh tempo utang dalam valuta asing serta risiko tingkat bunga yang floating dan juga risiko tingkat bunga tetap atau fixed.
"Itu risiko yang harus dikendalikan. Pelaku-pelaku usaha harap berhati-hati untuk utang dalam valuta asing," ujarnya.
Tujuan utama dari perjanjian BCSA ini adalah memungkinkan swap mata uang lokal antar kedua negara, mempromosikan perdagangan dan memperkuat kerja sama keuangan untuk pengembangan ekonomi kedua negara.
"Perdagangan Indonesia-Korea perkembangannya sangat pesat. Dengan kerja sama ini, memungkinkan nilai tukar rupiah dan korean won secara langsung dan mengurangi tekanan permintaan terhadap dolar Amerika Serikat," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News