kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bersama Negara G20 Meredam Laju Inflasi dan Resesi


Senin, 03 Oktober 2022 / 13:49 WIB
Bersama Negara G20 Meredam Laju Inflasi dan Resesi
ILUSTRASI.


Reporter: Tim KONTAN | Editor: Indah Sulistyorini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Inflasi global menjadi ancaman berjemaah bagi seluruh negara-negara di dunia. Karena itu menjadi tantangan besar bagi Indonesia sebagai Presidensi G20 untuk bisa mengajak negara-negara G20 bersama-sama mencari jalan keluar permasalahan ini.

Ada dua hal yang menjadi penyebab inflasi tinggi di seluruh dunia. Pertama kenaikan harga komoditas energi. Kedua kenaikan harga komoditas pangan global yang dipicu oleh aksi proteksionisme lantaran setiap negara mengutamakan kepentingan nasional untuk mencukupi kebutuhan sendiri.

"Ketidakpastian dunia masih sangat tinggi. Saat ini semua negara sedang mengalami kesulitan bidang ekonomi. Ekonomi ke depan sulit diprediksi dan dikalkulasi arah pemulihan. Sebab satu masalah belum selesai muncul masalah lain. Semua pemimpin negara menyampaikan kondisi sekarang sulit dihitung," kata Presiden Joko Widodo, Kamis (29/9).

Seperti kita tahu sejak awal tahun ini krisis energi dan pangan menyulut inflasi negara-negara di dunia pada tahun 2022. Masalah makin parah setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.

Perang juga menyulut harga minyak nabati dan biji-bijian seperti gandum yang kebetulan di produksi oleh Ukraina dan Rusia. Di sisi lain ada kegagalan panen gandum dari produsen-produsen di Australia dan Selandia baru.

Respon negara-negara menghadapi kondisi ini adalah melarang ekspor untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Seperti yang dilakukan oleh India yang melarang ekspor gandum dan beras pecah dengan pertimbangan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Indonesia juga melakukan hal yang sama untuk komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) lantaran terjadi lonjakan harga yang cukup tinggi di pasaran sepanjang Januari 2022 hingga akhir Agustus 2022 yang lalu.

Bank sentral hampir seluruh dunia terutama negara-negara G20 termasuk Indonesia merespon kenaikan inflasi ini dengan mengerek suku bunga tinggi.

Hitungan Organization of Economic Cooperation and Develpoment (OECD) kebijakan moneter ketat ini akan berhasil meredam inflasi tapi akan terlihat tahun depan.

Presiden Grup Bank Dunia David Malpass beberapa waktu lalu mewanti-wanti kebijakan kenaikan suku bunga acuan belum tentu efektif mengerem inflasi global ke level pra pandemi Covid-19.

Sebab kebijakan ini hanya akan menekan inflasi inti ke level 5% secara tahunan pada 2023. Ini pun masih dua kali lipat dari level pra pandemi Covid-19.

Kalau tidak hati-hati, yang terjadi justru menyebabkan resesi global pada 2023 seperti kekhawatiran semua negara.

Indonesia sebagai leader negara-negara dengan kapasitas ekonomi atau produk domestik bruto terbesar dunia yakni sebagai presidensi G20, tidak akan diam melihat situasi ini.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, perlu kerja bersama agar negara-negara bisa pulih dari krisis dan lebih kuat dari sisi ekonomi.

"Indonesia tidak sendiri menghadapi risiko ini, kalau kondisi dunia sedang tidak baik-baik saja. Tapi tidak bisa hanya mengamankan diri sendiri, sebab kita bisa terkena imbasnya," kata Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Kamis (29/9).

Upaya yang bisa dilakukan adalah otoritas fiskal bersama-sama dengan otoritas moneter, melakukan kerjasama mencari titik temu agar inflasi terkendali tapi pertumbuhan ekonomi dan pemulihan tetap berlanjut.

Seperti yang telah dilakukan oleh Indonesia, untuk menghadapi meningkatnya risiko global, Pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian strategi pembiayaan melalui utang 2022.

Pertama, melakukan optimalisasi surat berharga negara di pasar domestik melalui surat keputusan bersama (SKB) III menyesuaikan realisasi belanja pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Kedua, menyesuaikan target lelang surat berharga negara (SBN).

Ketiga, menyesuaian target SBN valas mempertimbangkan kondisi kas Pemerintah dan dinamika pasar keuangan.

Keempat, menambah atau upsizing SBN Ritel yang juga sebagai upaya berkelanjutan untuk meningkatkan partisipasi investor domestik.

Kelima, menarikan pinjaman program yang fleksibel menysesuaikan kebutuhan pembiayaan pemerintah.

"Karena ke depan guncangan-goncangan masih akan terus terjadi dan kita perlu untuk terus menjaga, agar pemulihan tetap bisa berjalan secara berkeadilan," kata Menkeu.

Karena itulah pada pertemuan G20 ini semua negara harus bersatu agar bisa mencapai tujuan bersama recover together, recover stronger.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×