Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Stunting menjadi salah satu permasalahan krusial dalam pembangunan sosial dan ekonomi di berbagai negara, terutama negara berkembang. Setiap negara penting untuk segera mengupayakan penanganan problematika stunting.
Di Indonesia, berbagai isu pro dan kontra terkait penanganan stunting masih terus bergulir. Bahkan, tak sedikit fenomena kejadian balita stunting dikaitkan dengan produk Industri Hasil Tembakau (IHT).
Sebuah penelitian baru yang menyimpulkan bahwa rokok tidak memiliki hubungan langsung terhadap terjadinya stunting di Indonesia telah menjadi viral di X (sebelumya Twitter) melalui tagar #RokokvsStunting. Hasil penelitian tersebut telah mematahkan pernyataan bahwa merokok adalah penyebab utama stunting di Indonesia.
Merespons viralnya tweet tersebut, direktur PPKE UB, Prof.Candra Fajri Ananda, mengaku bersyukur. Pasalnya, penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Peneliti PPKE dapat memberikan dampak yang luas dalam menambah pandangan masyarakat terkait hubungan antara rokok dengan fenomena kejadian balita stunting di Indonesia.
Baca Juga: Hari Kesehatan Nasional, Grup MIND ID Konsisten Berantas Stunting Sampai ke Pelosok
Candra mengemukakan hasil kajian PPKE– Universitas Brawijaya bahwa konsumsi rokok orang tua balita, terutama ayah, bukan merupakan faktor utama penyebab terjadinya stunting di Indonesia. Hal ini karena variabel orang tua merokok hanya memiliki kontribusi sebesar 0,7% terhadap terjadinya stunting di Indonesia.
"Hasil kajian PPKE UB pada stunting menunjukkan bahwa variabel tinggi badan orang tua, pendidikan, pendapatan, dan lahir badan cukup bulan yang justru berpengaruh signifikan dalam menurunkan balita stunting," kata Candra dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (18/11).
Ia mengungkapkan, hasil kajian tersebut berdasarkan dari riset yang telah dilakukan oleh PPKE Universitas Brawijaya berbasis data primer dengan melakukan survey pada ribuan responden di beberapa daerah, yakni NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, dan Bali.
Ia berharap hasil penelitian tersebut dapat memberikan rekomendasi kebijakan pada pemerintah untuk percepatan dalam mengatasi problematika stunting yang berfokus pada faktor-faktor utama yang menyebabkan permasalahan stunting di Indonesia.
"Tak dimungkiri bahwa hasil penelitian tersebut cukup membuka pandangan baru terkait hubungan rokok terhadap terjadinya stunting di Indonesia," kata Candra.
Meski demikian, sejatinya hasil temuan dalam kajian tersebut selaras dengan Data Riskesdas (2018) yang menunjukkan bahwa stunting terjadi sebagian besar pada laki-laki di pedesaan dengan tingkat ekonomi terbawah.
Baca Juga: ID FOOD Salurkan Bantuan Sembako di Wilayah Indonesia Timur
Menurut Candra, stunting pada keluarga termiskin mengindikasikan keterbatasan akses terhadap gizi yang cukup. Di sisi lain, stunting pada keluarga menengah ke atas mengindikasikan bahwa terdapat faktor di luar kemiskinan yang menyebabkan stunting, seperti pola asuh yang tidak benar.
Selama ini, dia bilang upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan stunting diwujudkan melalui bantuan pemerintah berupa alokasi dana kesehatan yang nilainya sebesar 5% dari total belanja dengan alokasi anggaran kesehatan pada 2023 mencapai Rp 178,7 triliun, menurut data Kementerian Keuangan tahun 2023.
"Hasil penelitian PPKE – Universitas Brawijaya juga menunjukkan bahwa dukungan pembiayaan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah memiliki peran besar dalam penurunan stunting, di mana hasil penelitian ini menunjukkan bahwa belanja kesehatan melalui dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) dan peningkatan anggaran kesehatan melalui Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) berdampak signifikan terhadap penurunan angka stunting di Indonesia," ujarnya.
Atas hasil kajian itu, PPKE Universitas Brawijaya memberikan rekomendasi, bahwa pemerintah perlu memperkuat kolaborasi program, kegiatan, serta pembiayaan dengan melibatkan masyarakat dan swasta.
Penguatan pembiayaan pemerintah terhadap kesehatan juga perlu perbaikan dari sisi penggunaan DBHCHT di tingkat Kabupaten/kota untuk dalam rangka akselerasi penurunan stunting.
Hal yang tak kalah penting adalah sosialisasi dan edukasi perilaku hidup sehat kepada masyarakat dapat dilakukan secara sinergis mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dengan menyasar sampai dengan kelompok PKK, dasawisma, dan posyandu.
"Kebijakan ini juga diperluas pada jalur pendidikan mulai dari PAUD hingga pendidikan lanjut," ucap Candra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News