Reporter: Bidara Pink | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memperkirakan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) akan meningkatkan suku bunga kebijakannya di tahun depan.
Seperti diketahui, saat ini The Fed sudah mulai melakukan pengetatan kebijakannya dengan mengurangi penambahan likuiditas (tapering off).
“Kami perkirakan akan dimulai di pertengahan tahun depan. Baru di kuartal III-2022,” tutur Gubernur BI Perry Warjiyo seperti dikutip Selasa (28/12).
Peningkatan suku bunga kebijakan The Fed ini nantinya bisa mempengaruhi peningkatan suku bunga surat utang pemerintah AS atau US Treasury.
Perry memperkirakan, peningkatan imbal hasil (yield) US Treasury di tahun depan bisa di antara 50 basis poin (bps) hingga 75 bps. “Atau kemungkinan besarnya di 50 bps,” tambah Perry.
Bila US Treasury ini naik, pasti Indonesia harus menyesuaikan. Perry bilang, BI dan pemerintah memperkirakan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) terkerek di 50 bps.
Baca Juga: Dukung Pertumbuhan Ekonomi, Bank Sentral China Pertahankan Kebijakan yang Fleksibel
Selain peningkatan imbal hasil tersebut, peningkatan suku bunga The Fed ini juga bisa menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan yang akhirnya memengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah.
Namun, Perry mengaku siap dengan kuda-kuda bank sentral untuk menjaga pergerakan mata uang Garuda dengan triple intervention, yaitu intervensi di pasar spot, pasar Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), dan pembelian SBN di pasar sekunder.
Selain dengan jurus sakti dari BI tersebut, BI juga meyakini gonjang-ganjing yang dirasakan oleh Indonesia tak akan besar karena Indonesia mencatatkan defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang rendah.
Cadangan devisa yang dimiliki Indonesia masih jumbo, serta Indonesia memiliki pengalaman dalam melewati krisis akibat perubahan arah kebijakan moneter The Fed pada satu windu silam.
“Tapi kita tetap waspada, berhati-hati, dan akan selalu memastikan stabilitas eksternal terjaga,” tandas Perry.
Senada dengan Perry, ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman juga melihat peningkatan suku bunga kebijakan The Fed akan berpengaruh pada nilai tukar rupiah, yaitu kecenderungen depresiasi mata uang Garuda.
Menurut perkiraannya, nilai tukar rupiah pada tahun depan bisa bergerak di kisaran Rp 14.600 per dollar AS, atau lebih rendah dari perkiraan pergerakan rupiah pada akhir tahun ini yang sebesar Rp 14.400 per dolar AS.
Akan tetapi, Faisal menegaskan bahwa dampaknya pada rupiah tak sebesar ketika taper tantrum pada satu windu silam.
“Karena komunikasi The Fed sudah lebih baik, sektor eksternal Indonesia sudah lebih sehat, dan kepemilikan asing pada instrumen keuangan domestik sudah mengecil,” ujar Faisal kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Ekonomi Bergerak Positif, CDS Indonesia Mulai Melandai
Meski begitu, Faisal tetap mengimbau otoritas untuk menyiapkan kuda-kudanya dan ada beberapa langah yang bisa ditempuh, seperti intervensi di pasar valuta asing melihat posisi cadangan devisa yang cukup tinggi.
Selain itu, BI juga bisa mengambil langkah besar seperti mengerek suku bunga acuan, tetapi dengan syarat bila nantinya dampak negatif dari peningkatan suku bunga kebijakan The Fed lebih besar dari perkiraan.
“Namun, saya rasa BI tak akan terburu-buru dalam menaikkan suku bunga acuan, karena juga dengan melihat kondisi terkini, dampaknya tidak akan terlalu besar,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News