Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang tahun 2018, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menggodok berbagai kebijakan fiskal. Insentif kebijakan pajak seperti Tax Holiday, Tax Allowance, hingga penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final UMKM dikucurkan untuk menggenjot kinerja penerimaan pajak di tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya meyakini, penerimaan negara di akhir 2018 bakal mencapai, bahkan melampaui, target sebesar Rp 1.894,7 triliun. Per akhir November, penerimaan negara telah mencapai 87,3% dari target APBN atau sebesar Rp 1.654,5 triliun.
Tercapainya target penerimaan tersebut sejalan dengan penerimaan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang mencapai pertumbuhan positif sepanjang tahun ini. Penerimaan perpajakan tercatat tumbuh sekitar 15% year on year (yoy), sedangkan PNBP tumbuh 28,4% yoy hingga November lalu.
Kepala Ekonom Bank Maybank Indonesia Juniman tak menampik optimisme Kemkeu terkait tercapainya penerimaan negara. "Namun, capaian tersebut bukan dikontribusi oleh bauran kebijakan fiskal pemerintah sepanjang tahun ini," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (27/12).
Pasalnya, Juniman berpendapat, berbagai skema kebijakan fiskal pemerintah tersebut tak dibarengi dengan peningkatan realisasi investasi. Selama periode kuartal-III 2018, realisasi investasi turun 1,6% yoy menjadi Rp 173,8 triliun.
Dari realisasi investasi tersebut, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp 89,1 triliun atau turun 20% dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya.
Menurut Juniman, tertahannya minat investor untuk menanamkan modal kerap disebabkan oleh tidak seragamnya kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
"Mereka (investor) mudah mendapat izin di pusat, tapi tidak di daerah. Itu kenapa tax holiday belum signifikan meningkatkan investasi di dalam negeri," kata dia.
Di sisi lain, kinerja penerimaan negara sepanjang tahun ini juga tak lepas dari naiknya harga komoditas sepanjang kuartal pertama hingga kuartal ketiga tahun ini. "Penerimaan pajak dari sektor migas, maupun PNBP pun tumbuh di atas ekspektasi," ujar Ekonom Bank Permata Josua Pardede.
Lantas, Josua menilai, pemerintah perlu kembali mengevaluasi ragam kebijakan fiskalnya di tahun depan. Jika tak cukup efektif, potensi penerimaan negara pun terancam turun seiring dengan tren harga komoditas yang melemah sejak kuartal-IV 2018.
"Stimulus fiskal harus terus didorong karena ekonomi kita masih mengandalkan komoditas. Kalau harga komoditas turun, konsumsi di daerah penghasil, misalnya, akan terpengaruh," tutur Josua.
Senada, Juniman juga mengatakan, pemerintah perlu memonitor efektivitas kebijakan fiskalnya, misalnya terkait insentif PPh Final UMKM 0,5%. "Apakah industri meningkat dengan adanya insentif ini? Jangan sampai pendapatan pemerintah berkurang tapi industrinya juga tidak ikut tumbuh," tandasnya.
Adapun dari sisi belanja, Tim Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam Proyeksi Ekonomi Indonesia 2019, menilai, secara keseluruhan terdapat pertumbuhan realisasi belanja pemerintah pusat di tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, Indef menggarisbawahi alokasi belanja pemerintah yang masih didominasi oleh belanja pegawai, bantuan sosial, dan subsidi, ketimbang belanja barang dan belanja modal.
"Pertumbuhan belanja sosial dan subsidi ini meningkat untuk membantu mempertahankan daya beli masyarakat," ujar Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Indef.
Per akhir November, belanja modal dan barang pemerintah masing-masing mencapai 62,9% dan 77,8% dari pagu APBN 2018. Sementara, belanja pegawai, subsidi, dan bantuan sosial telah mencapai masing-masing 86,2%, 116,9%, dan 90,3% dari anggaran.
Juniman menaksir, belanja pemerintah di akhir tahun nanti secara keseluruhan akan mencapai 94%-95% dari pagu APBN.
Adapun, pemerintah kembali menggenjot alokasi belanja untuk perlindungan sosial dalam APBN 2019. Juniman menilai hal tersebut wajar sebagai upaya pemerintah memasang jaring pengaman perekonomian di tengah ketidakpastian global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
"Pemerintah sebaiknya mengkaji, apakah penambahan porsi belanja perlindungan sosial sejalan dengan manfaatnya. Ini untuk memastikan kalau program pemerintah benar tepat sasaran," kata Juniman.
Tahun depan, pemerintah menambah anggaran belanja perlindungan sosial sebesar Rp 95,6 triliun menjadi Rp 387,3 triliun.
Sementara, anggaran pendidikan naik Rp 57,9 triliun menjadi Rp 492,5 triliun, anggaran kesehatan naik Rp 15,7 triliun menjadi Rp 123,1 triliun, dan anggaran infrastruktur hanya naik Rp 4,6 triliun menjadi Rp 415 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News