kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.783   12,00   0,08%
  • IDX 7.487   7,88   0,11%
  • KOMPAS100 1.159   4,22   0,37%
  • LQ45 919   5,86   0,64%
  • ISSI 226   -0,48   -0,21%
  • IDX30 474   3,57   0,76%
  • IDXHIDIV20 571   3,72   0,66%
  • IDX80 132   0,67   0,51%
  • IDXV30 140   1,16   0,83%
  • IDXQ30 158   0,67   0,43%

Bappenas: Indonesia hadapi stunting, tapi penghasil sampah makanan terbesar kedua


Selasa, 19 Februari 2019 / 11:54 WIB
Bappenas: Indonesia hadapi stunting, tapi penghasil sampah makanan terbesar kedua


Reporter: Benedicta Prima | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Beppenas) Bambang Brodjonegoro memaparkan ironi yang dialami Indonesia. Di satu sisi, Indonesia masih menghadapi masalah stunting, di sisi lain sebagai penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia.

"Terbesar setelah Saudi Arabia," jelas Bambang Brodjonegoro saat memberi paparan di Workshop Nasional Fortifikasi Pangan Nasional di Hotel Ayana, Selasa (19/2).

Untuk itu, Bambang menyebut penduduk mesti lebih bijak dalam mengkonsumsi makanan. Salah satunya mencapai Sustainability Development Goals (SDGs) terkait konsumsi yang bertanggung jawab. "Indonesia mengalami hidden hunger atau kelaparan tersembunyi, intinya kekurangan gizi mikro," jelas Bambang.

Hidden hunger yang terjadi terutama pada ibu hamil dan anak balita dapat mempengaruhi pertumbuhan janin, perkembangan kognitif pada anak, dan daya tahan terhadap infeksi, yang akan mengancam kualitas SDM Indonesia ke depan.

Saat ini, Indonesia kekurangan gizi mikro yang terdapat dalam makanan. Kekurangan gizi mikro menjadi salah satu aspek penyebab stunting. Oleh karena itu, fortifikasi menjadi salah satu upaya memenuhi gizi bagi masyarakat.

Fortifikasi adalah penambahan mikronutrien pada makanan. Selama ini telah dilaksanakan produsen baik secara wajib maupun sukarela. Misalnya dengan menambahkan zat besi pada tepung terigu, iodium pada garam, ataupun vitamin A pada minyak goreng sawit.

Untuk meningkatkan efektivitas fortifikasi pangan di Indonesia, beberapa langkah konkret perlu diambil. Antara lain pengembangan regulasi, pemerintah perlu segera menyusun regulasi untuk mendukung kebijakan dan pelaksanaan fortifikasi.

Selain itu perlu pengawasan, yaitu perlu dirancang mekanisme pengawasan implementasi Standar Nasional Indonesia (SNI) fortifikasi yang jelas. Ditujukan untuk meningkatkan kepatuhan pelaku industri terhadap standar produksi pangan fortifikasi, serta diikuti dengan dukungan pembinaan agar pelaku industri mau dan mampu memenuhi ketentuan yang berlaku.

Serta riset dan standardisasi, untuk mengurangi ketergantungan impor bahan fortifikasi. Dan inovasi teknologi yang dapat diadaptasi oleh pelaku industri.

“Perlu upaya untuk meningkatkan penyediaan sumber pangan dalam negeri termasuk eksplorasi sumber pangan lain yang beragam dan bergizi tinggi, pengembangan multi micro nutrient (MMN), serta biofortifikasi untuk memperkaya kandungan gizi pada tanaman pangan, serta intervensi-intervensi lain,” pungkas Bambang.

Saat ini, Indonesia masih menghadapi angka stunting 30,8%. Apabila permasalahan gizi di tidak segera diselesaikan, jelas Bambang, kerugian ekonomi bisa mencapai Rp 300 triliun apabila total GDP di kisaran Rp 15.000 triliun. Hitungan ini didasarkan pada data UNICEF yang menyebut kerugian ekonomi karena kekurangan gizi mikro mencapai 0,7%-2% dari GDP negara berkembang.

Bappenas: Indonesia masih hadapi stunting, tapi penghasil sampah makanan terbesar kedua

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×