Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mohamad D. Revindo, Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB Universitas Indonesia, menyampaikan wacana Work from Bali (WFB) yang di gaungkan oleh Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves), perlu dimodifikasi.
Banyaknya kritik dari masyarakat yang negatif seperti rencana tersebut sepintas tidak sejalan dengan upaya efisiensi anggaran di tengah keterbatasan penerimaan pemerintah.
Revido menyarankan agar pemerintah lebih baik menyampaikan kampanye WFB ini dengan dimodifikasi menjadi upaya yang lebih besar untuk mentransformasikan sektor pariwisata nasional.
Alasannya, kata Revindo, agar mampu beradaptasi dengan kebiasaan baru remote work atau Work from Remote (WFR), yang bisa menjadi peluang pengembangan pariwisata pada masa depan.
Baca Juga: Bali akan jadi destinasi paket wisata vaksin Covid-19, seperti apa?
“Tentu saja, upaya transformasi ini tidak terbatas pada Bali tetapi dapat dimulai dari Bali mengingat Bali adalah daerah wisata yang paling parah terkena dampak pandemi, dan mungkin Bali pulalah yang paling siap beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan WFR karena sebelum pandemi telah muncul fenomena pengembara digital (digital nomad) nasional dan internasional di Bali meskipun jumlahnya belum terlalu banyak,” tutur Revindo dalam rilis yang diterima Kontan.co.id, Rabu (23/6).
Revindo mengatakan transformasi yang harusnya dilakukan pemerintah, dengan memperkuat akses internet yang stabil di lokasi wisata. Menurutnya hal ini mutlak diperlukan sebagai sarana dasar bagi wisatawan untuk komunikasi dan kualitas kerja jarak jauhnya.
Kedua, pemerintah harus menerapkan standar dan protokol kesehatan di lokasi wisata dan harus tetap perlu dipertahankan selama dan pasca pandemi. Standar kesehatan memang akan menimbulkan biaya tambahan bagi pelaku usaha pariwisata (untuk alat kebersihan dan penjagaan jarak), namun kata Revindo, akan sekaligus menyaring wisatawan dengan kualitas belanja yang lebih tinggi.
Ketiga, menurut Revindo, diperlukan tambahan tempat-tempat penjualan suku cadang dan layanan purna jual komputer dan gawai yang tersebar dan lengkap, termasuk juga penjualan alat tulis kantor. Beberapa jenis peralatan dan service yang paling umum dan dasar bahkan harus sudah bisa ditangani secara in-house, misalnya universal travel adapter dan earphone.
Baca Juga: Anak Moms Mahasiwa Baru di Undip, Unpad dan Unair? Ini Biaya UKT Jalur SBMPTN 2021
Keempat, harus ada kombinasi antara tempat umum terbuka yang nyaman untuk bekerja dengan ruangan kedap suara yang nyaman untuk melakukan pertemuan daring. Bagi para pengembara digital, akan kurang nyaman apabila harus kembali dari lokasi wisata ke kamar hotelnya hanya untuk mendapatkan tempat yang nyaman untuk melakukan pertemuan daring.
Kelima, pera pelaku wisata perlu mampu melakukan transaksi non-tunai untuk jasa yang mereka tawarkan. Selain itu, mereka perlu memiliki akses dan keterhubungan dengan berbagai layanan tambahan yang mungkin dibutuhkan wisatawan (minimarket, laundry).
Dan terakhir, pelaku tidak bisa hanya berfokus pada wisman, tetapi juga wisnus. Alasanya, kata Revindo Jumlah penduduk Indonesia yang besar, tumbuhnya kelas menengah ekonomi, dan munculnya rekreasi sebagai salah satu kebutuhan masyarakat menyebabkan prospek pariwisata domestik tetap cerah.
“Apalagi, sangat mungkin berbagai instansi dan perkantoran pemerintah pada masa depan tidak akan kembali menerapkan WFO sepenuhnya. Kemampuan komunikasi dan bekerja jarak jauh yang terbangun selama pandemi, upaya penurunan biaya overhead kantor, serta upaya pengurangan kemacetan perkotaan mungkin akan mendorong WFR menjadi salah satu penentu masa depan pariwisata,” sambung revindo.
Selanjutnya: Mau kerja dari Bali? Ini kisaran budget yang perlu dipersiapkan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News