Reporter: Benedicta Prima | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank sentral Indonesia bersama dengan bank sentral Malaysia, Thailand, dan Filipina membuat kebijakan atau policy paper mengenai 'Capital Account Safeguard Measures in the ASEAN Context' dalam pertemuan Gubernur Bank Sentral se-ASEAN di Thailand.
Deputi Direktur Departemen Internasional Harris Munandar mengatakan, dokumen tersebut membahas tentang kebijakan manajemen arus modal di negara berkembang atau emerging market. Kebijakan ini dibuat karena adanya perbedaan pandangan dengan lembaga internasional seperti IMF dan OECD.
"Ada tiga prinsip yang diyakini bank sentral yang konon belum sama betul dengan pemikiran yang keluar dari IMF dan OECD," jelas Harris saat bincang-bincang media di gedung Bank Indonesia (BI), Selasa (9/4).
Pertama, keempat bank sentral menilai bahwa capital flow management (CFM) atau manajemen arus modal harus bisa fleksibel diterapkan, sedangkan pendapat ini berbeda dengan pendapat umumnya yang mengatakan CFM diterapkan sebagai pilihan terakhir.
"Harus dibuat berbeda-beda, jadi tidak bisa dibuat resep yang kaku. Bank sentral harus memiliki fleksibilitas untuk melaksanakan CFM melihat situasi, dan pre-emptive," imbuh Harris saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (10/4).
Kedua, mereka menilai lembaga internasional harus mengapresiasi dinamika pasar terkait nilai tukar. Adapun secara konsep nilai tukar biasanya diterapkan sebagai shock absorber alias penyerap tekanan atau automatic stabilizer.
Artinya apabila mengalami depresiasi maka akan ada insentif untuk ekspor sedangkan dalam kondisi apresiasi ada insentif untuk menahan impor. "Kalau emerging market lebih luas dari itu, bahwa dinamika pasar yang menyebabkan kualitas nilai tukar bukan saja short absorber tetapi bisa jadi shock amplifier," jelas Harris.
Shock amplifier adalah fungsi nilai tukar yang menjadi penguat tekanan. Misalnya saat nilai tukar melemah agak dalam, untuk jangka waktu pendek hingga menengah ekspor bisa terdorong karena harga barang dalam negeri jadi lebih murah bila transaksi menggunakan mata uang asing.
Namun dalam jangka panjang bisa berdampak pada penurunan kepercayaan masyarakat dan investor sehingga bisa terjadi penundaan investasi atau bahkan arus modal keluar serta pembalikan modal ke luar yang justru memperburuk keadaan.
"Kondisi ini banyak dialami negara emerging market yang pasarnya belum lengkap dan pendalaman finansialnya belum terlalu baik seperti Indonesia," imbuh dia.
Poin ketiga dalam policy paper adalah CFM di emerging market bisa digunakan dalam jangka panjang. Sebab apabila hanya diberlakukan dalam jangka pendek bisa jadi situasi yang ingin diatasi belum selesai seperti terjadinya arus keluar modal akibat kondisi eksternal.
"Jadi lembaga internasional termasuk IMF tidak layak untuk memaksakan CFM hanya untuk jangka pendek," jelas Harris.
Sehingga, dengan adanya kebijakan yang dirancang ini, negara ASEAN diharapkan menggunakannya sebagai referensi dalam pengambilan kebijakan di kawasan. Dengan kata lain tidak bergantung pada pandangan umum lembaga internasional. Sebab, jelas Harris, kebijakan ini dibuat berdasarkan pengalaman negara-negara di ASEAN dalam menghadapi dinamika arus modal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News