Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) ke depannya akan terus memperbesar kepemilikannya atas Surat Berharga Negara (SBN) dengan melakukan pembelian di pasar sekunder. Saat ini kepemilikan BI atas SBN sudah sekitar 25%.
Sejumlah pengamat dan Ekonom menilai, upaya BI memperbesar kepemilikannya di SBN tersebut harus dilakukan penuh pertimbangan, meskipun termasuk dalam operasi moneter yang ekspansif untuk menjaga stabilitas pasar keuangan dan kecukupan likuiditas di perbankan.
Pengamat Pasar Modal dan Keuangan Budi Frensidy menyampaikan kemungkinan upaya BI memperbesar kepemilikannya atas SBN berhubungan dengan tugas ganda BI yang juga harus mendukung program pemerintah.
"Ini memang baru terjadi beberapa tahun terakhir. Kurang bagus juga sejatinya," ungkap Budi kepada Kontan, Minggu (27/4).
Lebih lanjut Budi menyampaikan, meskipun tidak ada acuan batas maksimal kepemilikan BI atas SBN, namun ia menilai semakin besar porsinya, maka semakin dikhawatirkan menimbulkan risiko distorsi di pasar keuangan.
Baca Juga: SBN Ritel 2025 Makin Diburu, SR022 Diprediksi Jadi Primadona Baru
"Meskipun tidak ada acuannya tetapi kalau sampai mayoritas hingga puluhan persen, saya pikir tidak wajar," terang Budi.
Sementara itu, Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menyampaikan, penambahan porsi kepemilikan BI untuk SBN tergantung dengan kebutuhan kondisi pasar, yang dipengaruhi upaya untuk menstabilisasi pasar obligasi domestik dan juga nilai tukang rupiah.
Ia menilai, dengan upaya BI yang melakukan banyak intervensi di pasar salah satunya untuk penguatan rupiah dengan menjual cadangan devisa dollar dan mengkonversinya ke rupiah yang kemudian digunakan untuk membeli SBN.
Sehingga di saat kondisi pasar kurang kondusi, BI cenderung memperbesar porsi kepemilikannya atas SBN yang bertujuan untuk memperkuat rupiah.
"Kalau menurut saya, porsi 30% juga masih ideal saja, selama itu memang kondisinya dibutuhkan," ungkap Myrdal kepada Kontan, Minggu (27/4).
Myrdal mencontohkan, pada era sebelum pandemi COVID-19, porsi kepemilikan asing atas SBN mencapai kisaran 37%-41%, yang menjadi pemain utama dalam menggerakkan pasar.
Baca Juga: Penawaran ST014 Resmi Ditutup, Cek Jadwal SBN Selanjutnya
"Makanya nanti kalau BI sudah menjadi pemegang utama dengan kepemilikan sekitar lebih dari 30%, kemungkinan pasar obligasi kita atau pasar suatu utang negara kita akan didominasi oleh pengaruh yang kuat dari Bank Indonesia," terang Myrdal.
Lebih lanjut, Myrdal menyebut dengan kemungkinan maksimal kepemilikan BI atas SBN tembus lebih dari 30%, hal ini bisa menjaga situasi yang kondusif dari sisi pasar. Mengingat porsi kepemilikan asing juga hanya kurang dari 15%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, pembelian SBN tersebut yaitu dilakukan melalui pasar sekunder sebesar Rp 54,98 triliun dan pasar primer dalam bentuk Surat Perbendaharaan Negara (SBN), termasuk syariah, sebesar Rp 26,00 triliun.
Ekonom Bright Institute Yanuar Rizky menjelaskan, Langkah BI meningkatkan pembelian SBN adalah upaya BI dalam bertindak sebagi Lander of the last resort atau funsi BI dalam memberikan bantuan pendanaan kepada bank yang mempunyai kesulitan likuiditas sejak 2023, dengan menyerap SBN dari perbankan. Adapun uang yang diterima perbankan dari menjual SBN ke BI diserap dengan menerbitkan SRBI di sisi kewajiban neraca BI.
Sehingga menurutnya, ini dapat menaikkan cadangan devisa Bank Indonesia jika terus menambah aset portpolio SBN dan menahan harganya dalam kondisi operasi berbiaya mahal, dikarenakan tugas operasi moneter untuk membantu likuiditas perbankan ditempuh BI dengan menerbitkan utang yang juga menaikan biaya moneter.
Meski begitu Yanuar menilai, hal ini tetap memiliki batas dan kekuatan, serta seberapa lama kondisi stagflasi yang dimainkan oleh empat bank central seperti The Fed, ECB (European Central Bank), BOJ (Bank of Japan), PBoC (People's Bank of China).
"Makin lama BI akan bertaruh di kenaikan biaya moneter dan juga menahan resiko gagal bayar fiskal pemerintah yang jatuh tempo sekaligus. Ujungnya, defisiensi laba moneter ditahan di sisi ekuitas neraca BI, jika habis stamina, maka akan menghadapi resiko seperti 1998," ungkap Yanuar.
Yanuar juga menyebut berapa besar maksimal porsi kepemilikan BI atas SBN tergantung seberapa kuat cadangan laba moneter yang ditahan BI untuk menopangnya. Hal ini juga yang membuat pemerintah dan BI menginginkan dibentuknya bank emas, dan masyarakat menyimpan emasnya melalui rekening emas, agar masuk dalam ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) yang dapat memperkuat cadangan aset cadangan devisa BI (emas) dan devisa valas yang juga diupayakan melalui DHE (Devisa Hasil Ekspor).
"Bank Emas (GWM) dan Devisa Hasil Ekspor harapannya mengimbangi penambahan biaya moneter BI dalam menerbitkan SRBI guna menahan harga SUN (Surat Utang Negara)," ungkap Yanuar.
Sebelumnya Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, BI akan memborong SBN di pasar sekunder sebanyak Rp 150 triliun atau lebih untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Adapun BI telah membeli SBN sebesar Rp 80,98 triliun hingga 22 April 2025. Pembelian SBN ini disebut sebagai salah satu upaya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
"Kami terus mencermati ruang penurunan BI Rate lebih lanjut, yang pertama melalui operasi moneter yang ekspansif yang kedua adalah melakukan pembelian SBN di pasar sekunder untuk menjaga stabilitas pasar keuangan dan kecukupan likuiditas di perbankan," ungkapnya pada paparan hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Baca Juga: BI Sudah Borong SBN Rp 80,98 Triliun untuk Stabilkan Rupiah
Selanjutnya: Cek Saham-Saham yang Paling Banyak Dijual Asing Selama Sepekan Terakhir
Menarik Dibaca: Bank Mandiri Realisasikan KUR Rp 12,8 Triliun, Mayoritas ke Sektor Produktif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News