Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) sudah mulai melakukan normalisasi kebijakan moneter (tapering off) pada akhir tahun lalu.
Tak berhenti di situ, The Fed juga melempar sinyal untuk mulai mengerek suku bunga kebijakan pada akhir kuartal I-2022 seiring dengan pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dari perkiraan.
Bank Dunia memandang, ini bisa menjadi dilema bagi Bank Indonesia (BI) untuk mengambil langkah kebijakan.
“Peningkatan suku bunga kebijakan The Fed akan menciptakan dilema bagi bank-bank sentral di negara berkembang, termasuk BI,” tulis Bank Dunia dalam laporan terbarunya, seperti dikutip Minggu (20/2).
Baca Juga: Federal Reserve Akan Memulai Serangkaian Kenaikan Suku Bunga
Dilema ini karena, bila BI tidak ikutan mengerek suku bunga acuannya mengikuti suku bunga The Fed, maka ada risiko keluarnya modal asing (capital outflow) yang tentu saja memberi dampak pada pelemahan nilai tukar rupiah.
Di sisi lain, bila BI ikut meningkatkan suku bunga acuan, maka risiko pelemahan ekonomi akan meningkat. Ini bakal mengganggu progres pemulihan ekonomi yang selama ini diperjuangkan oleh otoritas.
Di satu sisi, pemerintah Indonesia sudah terikat janji untuk mengembalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke bawah 3% Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2023.
Baca Juga: Pejabat Fed Padamkan Ekspektasi tentang Kemungkinan Bunga Langsung Naik Tinggi
Dalam hal ini, kemudian Bank Dunia menyarankan agar Indonesia harus mengambil langkah kebijakan dengan hati-hati. Waktu penarikan stimulus harus diperhatikan dengan baik dan harus didasarkan pada perkembangan ekonomi.
“Karena, kombinasi pengetatan fiskal dan moneter yang dilakukan secara bersamaan akan berisiko bagi pemulihan ekonomi Indonesia,” tandas lembaga tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News