Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di akhir tahun ini hanya 5% dari proyeksi sebelumnya 5,2%. Untuk mematahkan proyeksi tersebut, salah satunya pemerintah harus mendorong masuknya investasi langsung.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, iklim investasi saat ini memang sedang tidak bersahabat. Investasi portofolio akan mengalami pergeseran dari saham ke obligasi pemerintah yang cenderung lebih aman dan masih menawarkan imbal hasil yang kompetitif.
Baca Juga: Ini yang perlu dilakukan pemerintah agar pertumbuhan ekonomi di atas 5%
Dalam jangka pendek, Josua melihat peralihan investasi ini memang akan mengganggu iklim investasi dengan potensi capital outflow yang melebar.
“Cukup masuk akal, hal yang rasional orang ke obligasi. Secara global pasar saham memang terkoreksi dalam jangka pendek dapat menekan current account deficit (CAD),” kata Josua kepada Kontan.co.id, Kamis (10/10).
Namun sejatinya investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) menjadi obat penolong bagi tren pelemahan investasi saat ini. Josua berharap pemerintah dapat mengelontorkan stimulus untuk FDI dan mempelajari kendala yang dapat menghambat.
Sejauh ini, FDI ke Indonesia memang belum begitu ampuh. Buktinya, dari sekitar 32 perusahaan China yang merelokasi usahanya tidak ada satupun yang hinggap di Indonesia.
Oleh karenanya, Josua menilai memang Indonesia kalah saing dengan Vietnam dan Malaysia. Di Vietnam baik kebijakan fiskal dan moneter sangat ramah investor. Terpenting, soal perizinan di sana juga lebih satu arah antara pemerintah pusat dan daerah.
Menurut Josua, pemerintah perlu memberikan prospektus atau roadmap ekonomi Indonesia dalam jangka pendek hingga menengah. Salah satunya, lewat arah pembangunan infrastruktur, pemerintah perlu menyampaikan ke pada investor terkail pencapaian dan outlook ke depan.
Baca Juga: Prospek ekonomi tertekan, pengusaha pilih tahan ekspansi gencarkan efisiensi
Di sini lah peran penting kebijakan fiskal pemerintah. Josua mengatakan ruang fiskal Indonesia masih bisa melebar. Pemerintah harus berkomitmen terkait kemudahan dan kepastian hukum pembebasan lahan.
“Saya pikir ini lebih penting bagi investor, kalau pemerintah bisa memastikan reformasi strukturalnya. Persaingan FDI dengan Negara lain seperti Vietnam menjadi wake up call bagi pemerintah,,” kata Josua.
Josua menambahkan, reformasi struktural setidaknya dapat membatu arah minat investor untuk menanam FDI. Sementara itu, kebijakan sektor rill juga perlu diangkat oleh pemerintah.
Dalam FDI ada dua skema pertama Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Josua menilai, sekiranya pemerintah bisa mengejar PMDN untuk jangka pendek dengan cara memberi kejelasan atas arah kebijakan ekonomi yang lebih realistis.
Untuk hal birokrasi pun akan menjadi perhatian investor. Josua bilang kabinet baru akan menjadi salah satu pertimbangan, sebab bila berubah signifikan bisa memengaruhi kebijakan pemerintah selanjutnya.
Namun wacana Presiden RI Joko Widodo membuat Kementerian Investasi akan menjadi salah satu perhatiannya.
Baca Juga: Bank Dunia turunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5% di 2019
Jika pemerintah bisa memacu FDI setidaknya Josua optimistis investasi bisa tumbuh 5,5% atau lebih tinggi dari proyeksi Bank Dunia di level 5% pada akhir 2019. Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia, proyeksi Bank Permata sebesar 5%-5,05%.
Sementara itu, alasan lain Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi lantan kinerja ekspor Indonesia yang melandai dan impor yang tidak bisa terbendung.
Menurut Josua untuk urusan ekspor-impor memang menjadi permasalahan dalam negeri. Josua menihat impor memang melambat tetapi kinerja ekspor masih tertekan.
Sentimen utamanya adalah perlambatan ekonomi global yang menggerus daya beli. Terlebih ekspor Indonesia masih berasal dari komoditas crude palm oil (CPO) dan batubata yang mulai kehilangan demand.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News