Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati
Perlambatan ekonomi global, ditambah perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang berlanjut, potensi resesi ekonomi AS, juga pelemahan ekonomi Eropa dan China, dipandang Bank Dunia bakal memicu arus keluar modal (capital outflow) yang lebih besar.
“Ini dapat menyebabkan suku bunga acuan Indonesia kembali meningkat dan rupiah terdepresiasi lebih dalam,” lanjutnya.
Baca Juga: Waduh, Inggris juga berisiko tergelincir ke jurang resesi
Capital outflow tersebut semakin berbahaya lantaran sampai saat ini Indonesia masih mengalami defisit neraca transaksi berjalan (CAD). Kuartal II-2019 lalu, CAD Indonesia mencapai US$ 8,4 miliar atau 3% dari PDB. Defisit ini naik dari US$ 7 miliar atau 2,6% dari PDB pada kuartal pertama.
Bank Dunia memproyeksi, CAD Indonesia di akhir 2019 sebesar US$ 33 miliar, naik dari tahun sebelumnya yang sebesar US$ 31 miliar. Tambah lagi, pertumbuhan FDI Indonesia juga lesu. Tahun ini, Bank Dunia perkirakan FDI Indonesia hanya US$ 22 miliar.
Dengan kondisi ini, Bank Dunia memperkirakan dibutuhkan setidaknya US$ 16 miliar per tahun inflow pembiayaan eksternal untuk menutup gap defisit tersebut.
Baca Juga: Pembiayaan utang 2020 lebih rendah, Kemenkeu siapkan strategi
“Pembiayaan eksternal yang dibutuhkan bisa lebih banyak jika capital outflow yang diprediksi benar-benar terjadi,” terang Bank Dunia.