Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Anggaran (Banggar) menyoroti terkait asumsi makro dan indikator kesejahteraan pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Ketua Banggar Said Abdullah mengatakan, tahun depan masih ada tantangan dan risiko yang harus di mitigasi dengan baik. Sebab jika kebijakan fiskal tidak berjalan dengan baik, maka akan berpengaruh besar terhadap berbagai target asumsi ekonomi makro, dan indikator kesejahteraan yang ditetapkan pada RUU APBN 2024.
Dia membeberkan, terdapat beberapa isu yang harus menjadi perhatian khusus oleh pemerintah.
Baca Juga: BUMN Pelaksana Penugasan Tercatat Tambah Utang Baru, Ini Kata Ekonom
Pertama, Indonesia saat ini masih menggunakan angka Puchasing Power Parity (PPP) sebesar US$ 1,9 yang mulai diberlakukan sejak 1998.
Bank Dunia di laporannya yang berjudul “Indonesia Poverty Assessment” tertanggal 9 Mei 2023 mengusulkan pembaharuan PPP terbaru untuk negara berpendapatan menengah, yakni sebesar US$ 3,2 per orang per hari atau sekitar Rp 47.502 per saham.
“Ukuran itu naik dari standar PPP untuk kemiskinan ekstrem yang saat ini menjadi acuan, yakni US$ 1,9 per orang per hari atau sekitar Rp 28.969,” tutur Said dalam Rapat Kerja bersama Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Bappenas, Selasa (29/8).
Dengan asumsi PPP US$ 3,2, maka tingkat kemiskinan ekstrim akan melonjak naik dari posisi Maret 2022 yang mencapai 5,59 juta jiwa atau 2,04%. Sehingga, Said menyampaikan target penghapusan kemiskinan ekstrem dipastikan tidak akan tercapai.
Baca Juga: Cara Membuat SKCK Online untuk Daftar CPNS & PPPK, Pendaftaran Dibuka 17 September
Maka dari itu, Said berharap pemerintah segera membuat landasan epistemologis untuk acuan PPP yang akurat dalam membaca situasi ekonomi Indonesia terkini, sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara akademik, dan sosial, bukan sekedar angka yang hebat di atas kertas.
Kedua, pemerintah menargetkan angka prevalensi stunting pada tahun depan turun menjadi 14% dari pencapaian tahun lalu mencapai 21,6% dan target tahun ini ke level 17,5%.
Said menyarankan, agenda besar yang harus bisa diciptakan pemerintah adalah mengubah perilaku masyarakat melalui program kerja Kementerian/Keuangan (K/L), dan pemda secara konvergen.
“Kita lihat selama ini pola kerja antar K/L dan pemda masih muncul ego sektoral, sehingga keseluruhan program K/L tidak manampaknya arsitektural kebijakan secara utuh,” ujarnya.
Baca Juga: Tingkatkan Produktivitas Teh, Kementan Godok Program Peremajaan Kebun Teh Rakyat
Ketiga, kebijakan mengalokasikan anggaran wajib bidang pendidikan semenjak diluncurkan tahun 2003, belum berdampak secara signifikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan layanan pendidikan.
Oleh sebab itu, menurutnya perlu mendapat perhatian bersama. Besarnya alokasi anggaran pendidikan belum mencerminkan besarnya alokasi anggaran terhadap mutu dan kualitas pendidikan yang dihasilkan sampai saat ini.
Kemudian, Skor PISA (Program for Internasional Student Assessment) Indonesia juga dinilai masih di bawah rerata OECD dan ASEAN-5. Hal yang sama juga ditunjukkan dari Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk perguruan tinggi (19-24 tahun) yang masih tertinggal dibandingkan peers.
Selain itu, tingkat pengangguran lulusan pendidikan Vokasi juga cukup tinggi serta tingkat partisipasi pendidikan anak usia dini (PAUD) dan Perguruan Tinggi masih rendah.
“Dengan sedih kita katakan, penduduk yang bekerja sebanyak 39,1% lulusan SD dan 18,24% lulusan SMP. Artinya sebanyak 57,34 penduduk Indonesia yang bekerja lulusan SMP ke bawah,” kata Dia.
Baca Juga: Ini Jurus Pemerintah Tarik Pendanaan untuk Bangun Infrastruktur
Menurut Said, tidak ada artinya momentum bonus demografi yang didapatkan Indonesia sejak 2012 jika tidak mendapatkan mayoritas tenaga kerja terampil yang mampu mengakselerasi inovasi bagi UMKM, dan industri. Padahal sumbangan UMKM terhadap PDB mencapai 60,5%.
Keempat, pada RUU APBN 2024 pemerintah mengalokasikan rencana anggaran infrastruktur yang dialokasikan sebesar Rp 422,7 triliun atau 12,79% dari belanja negara.
Selain untuk memastikan keberlangsungan pembangunan IKN, alokasi belanja infrastruktur harus bisa meningkatkan tingkat partisipasi sekolah dan angka harapan hidup rakyat.
Pembangunan infrastruktur juga harus lebih fokus pada upaya meningkatkan daya saing ekonomi, bukan malah jadi beban ekonomi.
Maka dari itu, menurutnya Pemerintah harus fokus pada target pada cetak biru kebijakan logistik nasional. Kebijakan ini mencanangkan pada tahun 2025 rasio biaya logistik dengan PDB sebesar 12,4%. Said menilai target ini cukup realistis mengingat di Amerika Serikat saja 8% dan Korea Selatan 9,7% PDB.
Kelima, Said menyampaikan Banggar DPR sepenuhnya mendukung perluasan kebijakan hilirisasi. Namun pemerintah perlu menempuh sejumlah kebijakan penting, salah satunya Pemerintah harus bisa memaksimalkan ruang pada Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News