Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan
KONTAN.CO.ID - GARUT. Garut tidak hanya populer dengan makanan dodol atau domba adunya. Kabupaten bagian dari Jawa Barat ini juga sempat mendapat julukan sebagai kota intan dari presiden pertama Indonesia, Soekarno. Akhir tahun 1960, Soekarno mengunjungi Garut lantas menyampaikan pidato di atas Babancong. Dalam pidatonya, Soekarno menyebut Garut sebagai kota intan. Sebutan itu diberikan karena Garut merupakan salah satu kota terbersih di Indonesia ditambah pantulan cahaya dari Sungai Cimanuk yang tampak gemerlapan seperti intan.
Seiring waktu berlalu, julukan kota intan pun pudar secara perlahan. Potret Garut kekinian tidak segermerlap beningnya air Sungai Cimanuk kala itu. Maklum, sudah tercemar limbah industri dan rumahtangga, meski secara infrastruktur kota ini lumayan berkembang pesat. Hijauannya pengunungan dan perbukitan hanya tersisa di sebagian wilayah. Justru di sebagian daerahnya, malah langganan krisis air bersih saban tahun. Kekeringan akut di musim kemarau akibat kerusakan hutan lindung dan daerah aliran sungai oleh aktivitas ekonomi dan pertambangan yang tak ramah. Celakanya, banjir bandang terjadi manakala datang musim hujan.
Lepas dari kenangan indah wajah Garut tempo dulu, kota yang pernah disinggahi oleh Charlie Chaplin tersebut masih berjibaku dengan banyak persolan klasik, yakni kemiskinan dan pengangguran. Di sisi lain, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten yang terkenal dengan dodolnya itu masih tertinggal ketimbang daerah lainnya. Sebab berada di klasmen terbawah, yakni peringkat 25 dari 27 kabupaten dan kota di Jawa Barat. Merujuk data BPS 2018, jumlah pengangguran di Garut sebanyak 77.000 orang dengan rata-rata pertumbuan 10% per tahun dari total sebanyak 2,2 juta jiwa penduduk yang tercatat di Kementerian Dalam Negeri.
Tidak mengherankan, sebagian warga Garut memilih mengadu nasib di sejumlah kota besar di tanah air, terutama di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Dari sekian profesi informal warga perantuan di kota-kota besar tersebut, pangkas rambut atau jasa cukur rambut bisa dibilang identik dengan Garut. Sebagian kecil pekerjaan kaum marjinal asal Garut ini lainnya adalah berjualan buah, tukang kayu, tukang sol, dan sebagainya. Selama puluhan tahun, dari generasi ke generasi, pemangkas rambut asal Garut (Asgar) ini terus bertambah.
Dalam perjalanan panjangnya merapikan rambut jutaan kepala, beredar cerita lisan turun-temurun tentang asal-mula profesi ini di kalangan pemangkas rambut Asgar. Secara umum, mereka mengetahui dari para pendahulunya, bahwa persebaran mereka bermula saat konflik bersenjata antara DI/TII pimpinan S.M. Kartosoewirjo dengan TNI yang meletus di daerahnya. Untuk menghindari pertumpahan darah, mereka banyak yang mengungsi ke luar kota dan menghidupi diri dengan pelbagai pekerjaan. Nah, salah satunya menjadi tukang pangkas rambut. Saat konflik bersenjata menghebat antara DI/TII dengan TNI, warga Banyuresmi paling banyak yang mengungsi ke sejumlah daerah di sekitar Garut. Ada yang mengungsi ke Majalaya, Kabupaten Bandung, dan bekerja sebagai pemangkas rambut, yang kemudian menyebar ke berbagai kota di Nusantara.
Ada pula yang mengemukakan versi lain. Warga Banyuresmi telah menjadi pemangkas rambut sejak zaman Jepang. Artinya, orang-orang Garut telah menekuni profesi ini sebelum berkecamuknya separatisme yang merongrong pemerintahan Soekarno. Itu sebanya, kenapa tukang pangkas rambut banyak dari Banyuresmi. Di perantauan, mereka mengikatkan diri dengan pelbagai perkumpulan seprofesi dan sekampung. Belakangan, beberapa organisasi pemangkas rambut Asgar terbentuk dengan jumlah anggota yang sangat besar, salah satunya Persaudaraan Pangkas Rambut Garut (PPRG ). Kini, jumlah pemangkas rambut Asgar diperkirakan mencapai 10.000-15.000 orang, yang tersebar seantero Nusantara. Itulah sekilas eksistensi seniman rambut Asgar yang sudah menjadi trademark.
Nestapa karena corona
Lantas, bagaimana kabarnya mereka saat ini? Yang pasti kabar kurang menyenangkan dari para pemangkas rambut Asgar tersebut. Pasalnya, nasib meereka sedang terpangkas secara ekonomi, yang tidak pernah dialami sebelumnya. Mereka tengah gundah-gulana dan nestapa seperti jutaan pengendara ojek online (ojol) dan pencari nafkah harian lainnya, akibat ganasnya penyebaran virus corona yang telah menjadi pandemi global. Usaha pangkas rambut terpaksa tutup karena pelanggan takut tertular Covid-19 yang belum ditemukan vaksinnya. Maklum, saat mencukur rambut sudah barang tentu terjadi kontak fisik yang dikhawatirkan menjadi media penularan virus corona.
"Tukang cukur atawa saya sebut dengan istilah seniman rambut khususnya dari Asgar yang berjumlah kurang lebih 15.000 orang tersebar ke berbagai wilayah seluruh Indonesia, terutama yang paling banyak penyebarannya berada di wilayah Jabodetabek, Banten, Cikarang, Bandung, terus sampai ke wilayah Jawa Tengah, dan lainnya," kata Ketua PPRG Irawan Hidayah saat membuka obrolan dengan KONTAN, Minggu (13/4/202).
Dari jumlah itu sekitar 10.000 orang yang masih aktif dan terdata. Menurut Irawan, data tersebut berdasarkan hitungan kasar para seniman rambut yang tersebar di hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Garut dan yang sudah berpindah ke luar Garut karena menikah dengan warga di daerah lain. "Data fix belum kami spesifikan namun yang pasti aktif dan terdata kurang lebih 10.000 orang," terang dia. Adapun pemangkas rambut yang sudah terdaftar resmi di PPRG sebanyak 5.000 orang dan jumlahnya bisa terus bertambah.
Berapa rata-rata penghasilan pemangkas rambut Asgar? Irawan menjelaskan, satu gerai terdiri minimal dua orang dengan pendapatan yang berbeda-beda sesuai tingkatan kelas tempat kerja masing-masing. Ada yang tingkatan pangkas dengan penghasilan minimal Rp 200.000 per hari. Untuk gerai tingkatan semi barber bisa meraup penghasilan Rp 300.000 sehari. "Ada yang tingkatan barbershop dengan penghasilan Rp 500.000 per hari," beber pemilik Barbershop Fix Up yang terletak di Jalan Wolter Monginsidi No. 74 Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Di tempat inilah, Wapres KH Maruf Amin, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menteri Kopersai di UKM Teten Masduki, dan sejumlah penjabat penting negara lainnya langgaran merapihkan rambut mereka melalu tangan Irawan. Soal tempat usaha, Irawan bilang, ada yang sewa dan ada juga pola kerjasama dengan pihak lain atau join partner. "Kalau yang sewa [tarifnya] tergantung lokasi dan besaran luas toko yang disewa. Untuk pegawai ada yang menggunakan sistem bagi hasil 50-50, ada juga yang sistem 60-40, tergantung aturan kebijakan tempat kerja masing-masing," ungkapnya. Sedangkan untuk nilai tarif masing tempat berbeda-beda sesuai kelas tingkatannya. "Untuk pangkas minimal Rp 15.000, semi barber minimal Rp 25.000, dan barbershop minimal Rp 60.000 ke atas," beber Irawan.
Sejatinya, usaha cukur rambut ini cukup menjanjikan karena pasarnya pasti. Tidak heran usaha potong rambut menjamur di mana-mana. Tapi, sekarang berbalik 360 derajat setelah corona mewabah. "Dengan tingkat penghasilan minimal per hari Rp 200.000, sekarang adanya dampak wabah corona sangat berpengaruh sekali kepada usaha kami yang menurun drastis hampir 100%, karena kami tidak bisa bekerja di semua tempat wilayah kerja. Tempat kerja semua tutup dan terpaksa kami mudik ke kampung halaman untuk bertahan hidup bersama keluarga di Garut," tuturnya.
Selain alasan tempat kerja tutup sementara, para tukang pangkas rambut Asgar tidak bisa lama-lama bertahan di kota lantaran tidak ada penghasilan apapun. Irawan mengklaim, dari 5.000 anggota PPRG, sebanyak 2.500 orang diantaranya sudah mudik lebih awal. "Dari semua ini terpaksa pulang ke Garut. Kami terpaksa bertahan hidup dengan segala cara. Ada yang berjualan bubur, bertani dan lainnya. Kalau tidak bisa usaha, ya terpaksa hidup seadanya dengan semampunya walau tidak ada harpaan ke depan," sebut dia.
Sebagai Kepala Perumahan Seniman Rambut Garut, Irawan mengungkapkan, dirinya tengah mengupayakan pengajuan penangguhan cicilan rumah ke Bank BTN melalui Kementerian PUPR. "Alhamdulillah, sekarang sedang diproses. Saya kebetulan inisiator sekaligus ketua Perumahan Seniman Rambut PPRG, yang peletakan batu pertamanya oleh Bapak Presiden Jokowi," ungkapnya.
Untuk diketahui, PPRG bersama Kementerian PUPR menginisiasi pengadaan rumah subdisi untuk para pemangkas rambut Asgar. Jumlah hunian baru mencapai 150 unit yang sudah terhuni untuk tahap pertama dan sedang menuju tahap kedua sebanyak 150 unit lagi dalam proses pembangunan. Adapun nilai cicilan per bulan untuk jangka waktu 10 tahun adalah sebesar Rp 1.300.000. Untuk jangka waktu 15 tahun sebesar Rp 1 juta, dan untuk cicilan tenor 20 tahun sebesar Rp 800.000 per bulan. "Kami kepada pemerintah sangat berharap mendapat bantuan untuk anggota kami sebagai pekerja informal yang tidak bisa bekerja dan tidak punya penghasilan. Kami siap memfasilitasi bantuan dari pemerintah yang ditujukan kepada anggota kami," tukas Irawan.
Dani Permana, salah satu pemangkas rabut Asgar merasakan betul bagaimana beratnya menjalani hidup saat ini. "Pemasukan enggak ada. Sekarang minim di kampung mah. Sebelum corona, penghasilan rata-rata bisa Rp 200.000 sehari," akunya yang sudah mangkas rambut dari tahun 1990. Sejak dua tahun lalu, Dani merintis usaha sendiri dengan membuka gerai di Tangerang Kota. Sebetulnya, Dani mengaku kurang sreg kalau hanya mendapat bantuan cuma-cuma dari pemerintah. "Harapannya, ya, ada solusi untuk penghasilan. Mungkin ada program karya untuk para pengagggur baru. Kalo batosan asa kirang sreg kitu," ucapnya.
Hal senada diutarakan Heri Ramdani yang terpaksa mudik karena tempat usahanya di Jalan Raya Pahlawan, Cibinong, Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, tidak beroperasi sementara. "Pendapat harian sebelum corona bisa sampai Rp 200 ribuan. Sekarang, enggak sesuai dengan harapan tadinya bisa cukur 20 kepala sekarang nol, artinya engak ada," keluh bapak dua anak ini.
Beban Heri semakin berat karena selain harus menafkahi anak dan istri juga harus membayar cicilan ke bank. Pada dasarnya, ia tidak begitu ambil pusing dengan rencana pemerintah menyalurkan bantuan sosial kepada warga terdampak corona. Bagi Heri, yang penting adalah bagaimana bisa mendapatkan kelonggaran kredit ke bank, karena saat ini sama sekali tidak memiliki pemasukan akibat usahanya tutup.
"Harapan kami sebagai seniman cukur rambut enggak bermuluk-muluk, yang penting kami bisa nggasih anak istri kami dan beban kreditan kalau bisa ditangguhkan untuk enam atau 12 bulan dengan syarat enggak usah bayar dendanya. Kami enggak mikirin bantuan dari pemerintah tapi gimana biar kami bisa ngasih anak istri kami dengan tidak ada beban kreditan," harapnya yang sudah mengalami suka duka menekuni profesi pangkas rambut.
Menurut Heri, mungkin bagi para seniman rambut semuanya menghadapi kondisi yang sama seperti para pekerja harian lainnya. "Jika kami tidak mendapatkan uang hari ini, kami harus berfikir untuk esok hari. Kebutuhan rumahtangga dan tanggungan kami adalah hal wajib terpenuhi. Tapi dengan keadaan seperti ini, kami pun kesulitan untuk menutupi semua kebutuhan yang sudah menjadi kewajiban kami. Harapannya, selain dari keadaan ini segera cepat-cepat membaik, kami pun ingin pemerintah bisa memerhatikan nasib kami para pekerja harian," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News