kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.505.000   -15.000   -0,99%
  • USD/IDR 16.295   -200,00   -1,24%
  • IDX 6.977   -130,64   -1,84%
  • KOMPAS100 1.042   -22,22   -2,09%
  • LQ45 818   -15,50   -1,86%
  • ISSI 213   -3,84   -1,77%
  • IDX30 417   -9,14   -2,14%
  • IDXHIDIV20 504   -9,85   -1,92%
  • IDX80 119   -2,45   -2,02%
  • IDXV30 125   -2,38   -1,87%
  • IDXQ30 139   -2,59   -1,83%

Aturan perijinan pengelolaan limbah digugat ke MK


Rabu, 23 Juli 2014 / 17:44 WIB
Aturan perijinan pengelolaan limbah digugat ke MK
ILUSTRASI. Waskita Beton Precast Tbk


Reporter: Agus Triyono | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Aturan perijinan pengelolaan limbah yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup digugat ke MK. Penggugat Bachtiar Abdul Fatah, General Manager Sumatera Light South PT Chevron Pacific Indonesia yang menjadi terpidana dalam kasus korupsi proyek normalisasi lahan tercemar minyak PT Chevron menilai bahwa ketentuan yang terdapat dalam UU tersebut telah merugikan dirinya.

Setidaknya, ada tiga ketentuan yang dia permasalahkan. Pertama, Pasal 59 ayat 4 yang mengatur bahwa pengelolaan limbah B3 wajib mendapatkan ijin dari menteri, gubernur, bupati atau walikota. Ke dua Pasal 95 ayat 1 yang mengatur bahwa penengakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat dilakukan penegak hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri. Dan ke tiga, Paasl 102 yang mengatur sanksi pidana dan denda bagi pengelolaan limbah B3 tanpa ijin.

Maqdir Ismail, kuasa hukum Bachtiar mengatakan bahwa ke tiga ketentuan tersebut telah menimbulkan masalah bagi kliennya. “ Terkait ijin, kejaksaan mengatakan ada pelanggaran ketika Chevron mengelola limbah saat ijin belum selesai perpanjangannya, pengolahan limbah ini kan tidak bisa di shut down begitu aja, harus tetap jalan sembari menunggu ijin baru kalau tidak bisa parah kalau dihentikan pengolahannya,” kata Mmaqdir kepada KONTAN Rabu (23/7).

Kerugian ke dua, kata Maqdir juga dialami oleh Bachtiar penggunaan kata “dapat” pada Pasal 95 ayat 1. Keberadaan kata tersebut telah membuat penyidik memperlakukan Bachtiar seenaknya. Sebab, tanpa harus berkoorinasi dengan kementerian terkait lingkungan, penyidik menetapkan Bachtiar menjadi tersangka. Dan anehnya, status tersangka tersebut diberikan atas tuduhan korupsi, bukan pencemaran lingkungan.

“”Dapat” di dalam pasal itu harusnya diubah menjadi “wajib” dengan koordinasi menteri terkait karena yang tahu penegakan hukum lingkungan ini Kementerian Lingkungan Hidup,” katanya.

Atas kerugian- kerugian itulah Maqdir meminta MK untuk menyatakan Pasal 59 ayat 4 juncto Pasal 102 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak konstitusional bersyarat. Selain itu, dia juga meminta MK untuk menyatakan frasa “dapat” dalam Pasal 95 ayat 1 dibatalkan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×