Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Amerika Serikat (AS) telah mengeluarkan Indonesia dari daftar developing and least-developed countries. Akibatnya, special differential treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku bagi Indonesia.
Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, kebijakan AS tersebut hanya berlaku spesifik dalam konteks Countevailing Duties (CVD) pada perdagangan barang dan jasa antara AS dan Indonesia.
Ia juga menegaskan bahwa kebijakan itu berbeda sama sekali dengan fasilitas generalized system of preference (GSP).
Baca Juga: Kemendag: Perubahan status Indonesia jadi negara maju tak ubah fasilitas GSP dari AS
“CVD ini berbeda dengan GSP. Jadi tidak ada hubungannya. Selama ini juga hanya sekitar lima komoditas yang menikmati (CVD) jadi sebetulnya tidak terlalu besar sekali pengaruhnya pada perdagangan kita,” tutur Sri Mulyani usai menghadiri Rapat Koordinasi di kantor Kemenko Perekonomian, Senin (24/2).
Sri Mulyani juga menampik bahwa pencabutan status negara berkembang oleh AS itu mempengaruhi bunga pinjaman atau utang Indonesia. “Tidak ada hubungannya itu sama sekali,” tandasnya.
Di sisi lain, Sri Muyani mengatakan bahwa Indonesia memang sudah dianggap sebagai salah satu negara berpendapatan menengah (lower middle-income country). Oleh karena itu, daya saing perekonomian juga harus ditingkatkan untuk menciptakan efisiensi.
“Ini memang yang menjadi pusat perhatian Presiden yaitu produktivitas, daya saing, konektivitas, karena itu semua yang akan menciptakan biaya produksi yang lebih efisien,” tandasnya.