Reporter: Harris Hadinata | Editor: Harris Hadinata
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kondisi ekonomi Indonesia masih dibayang-bayangi ketidakpastian. Bahkan, tren investasi masih bergerak turun sejak pandemi Covid-19 berakhir.
Pranjul Bhandari, Chief India Economist/Strategist, ASEAN Economist HSBC, menyebut, ekonomi Indonesia masih tumbuh. Hanya saja, pertumbuhannya cenderung pelan.
Ini terlihat dari beberapa faktor. Pertama, pertumbuhan penyaluran kredit melambat. Data Bank Indonesia memang menunjukkan penyaluran kredit hanya tumbuh 7,7% per September 2025.
Realisasi tersebut memang membaik dibanding pertumbuhan di Agustus yang Cuma 7,56%. Tapi realisasi tersebut masih di bawah target pertumbuhan kredit BI untuk tahun ini, yakni di kisaran 8%-11%.
Baca Juga: Ekonomi Butuh Intervensi Fiskal dan Investasi Agresif
Kedua, purchasing manager’s index (PMI) sektor manufaktur Indonesia bergerak volatil. “Ini data bulanan, terkadang datanya kontraksi, terkadang ekspansi,” sebut Bhandari, Rabu (29/10).
Di September, PMI manufaktur Indonesia ada di level 50,4, turun dari 51,5 di Agustus. Keduanya masih ada di level ekspansi.
Tapi di Juli, PMI masih ada di 49,2, naik dari 46,9 di Juni. Bhandari menyebut, pergerakan PMI antara ekspansi dan kontraksi pada dasarnya menunjukkan tidak ada pertumbuhan yang pasti di ekonomi.
Bhandari juga mencatat, neraca transaksi berjalan Indonesia membaik. Kendati begitu, peningkatan neraca tersebut lebih karena terjadi penurunan investasi. “Ini perlu berbalik bila ingin angka pertumbuhan membaik,” papar dia.
Baca Juga: Ungkit Ekonomi Tak Cukup Bersandar dari Investasi
Mendorong investasi
Bhandari menilai, rumahtangga, korporasi, dan pemerintah saat ini sulit diharapkan mendorong investasi. Rumahtangga saat ini tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk melakukan investasi.
“Rumahtangga memiliki cukup uang untuk membiayai konsumsi, tapi mereka tidak punya kelebihan untuk investasi,” terang Bhandari. Selain itu, konsumsi rumahtangga juga lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok ketimbang kebutuhan lainnya.
Karena itu, Bhandari menilai saat ini rumahtangga di Indonesia tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mendorong investasi.
Baca Juga: Nilai Ekonomi Digital Indonesia Berpotensi Tembus US$ 130 Miliar pada 2025
Sementara korporasi juga saat ini lebih memilih menahan duitnya dan menyimpannya dalam bentuk aset kas. Bhandari menilai, korporasi saat ini masih melihat banyak ketidakpastian.
Dari sisi pemerintah, Bhandari menilai pemerintah sebenarnya cukup banyak berbelanja. Kendati begitu, anggaran belanja pemerintah lebih banyak diarahkan untuk bantuan social. “Jadi tidak ada banyak duit ekstra untuk melakukan investasi, untuk modal,” sebut Bhandari.
Bhandari menyebut, permasalahan tersebut perlu diselesaikan bila Indonesia ingin mendorong investasi. “Saya lihat sekarang sudah ada kesadaran bahwa pertumbuhan rendah dan perlu dilakukan sesuatu untuk mendorong pertumbuhan,” sebut dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













