kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.915.000   44.000   2,35%
  • USD/IDR 16.400   -20,00   -0,12%
  • IDX 7.142   47,86   0,67%
  • KOMPAS100 1.041   10,44   1,01%
  • LQ45 812   9,62   1,20%
  • ISSI 224   0,88   0,39%
  • IDX30 424   4,46   1,06%
  • IDXHIDIV20 504   1,88   0,37%
  • IDX80 117   1,34   1,15%
  • IDXV30 119   0,16   0,14%
  • IDXQ30 139   1,43   1,04%

Arah kebijakan moneter BI masih ketat


Kamis, 11 Desember 2014 / 18:49 WIB
Arah kebijakan moneter BI masih ketat
ILUSTRASI. Nikmati Promo Akulaku Paylater dengan Diskon Semua Produk PegiPegi Hingga Rp 37.000


Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Otoritas moneter Bank Indonesia (BI) belum bisa menurunkan kebijakan suku bunga atau BI rate dalam jangka waktu dekat. Risiko inflasi dan kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika masih menjadi risiko yang menghadang tahun depan.

Dua risiko itu yang menyebabkan BI memutuskan mempertahankan suku bunga pada level 7,75% dengan suku bunga lending facility dan suku bunga deposit facility masing-masing pada level 8% dan 5,75% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG), Kamis (11/12).

BI menargetkan inflasi tahun depan akan kembali ke sasaran 4% plus minus 1%. Untuk menuju pada sasaran inflasi tersebut, BI masih perlu mempertahankan kebijakan ketat.

Direktur Komunikasi Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs mengatakan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 2.000 per liter yang mulai berlaku 19 November 2014 akan berlangsung selama tiga bulan. Inflasi hingga akhir tahun ini akan berada pada kisaran 7,7%-8,1%. 

"Kita masih perlu jangkar ekspektasi inflasi," ujar Peter, Kamis (11/12). Selain soal inflasi, yang juga menjadi bahan pertimbangan BI dengan kebijakan ketatnya adalah perekonomian Amerika Serikat (AS).

Amerika yang saat ini menjadi motor pemulihan ekonomi global terus menunjukkan perbaikan dan berada dalam siklus yang meningkat. Maka dari itu, BI melihat kemungkinan adanya kenaikan Fed Fun Rate mulai triwulan II-2015. 

Kenaikan ini akan mendorong penguatan dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia termasuk Indonesia. Inilah yang kemudian membuat mata uang rupiah mengalami pelemahan signifikan selama beberapa hari terakhir.

Pada November 2014, secara rata-rata rupiah melemah sebesar 0,21% ke level Rp 12.167 per dolar AS dan secara year to date pelemahan rupiah tercatat 1,13%. Menurut Peter, pelemahan rupiah termasuk pelemahan yang paling rendah dibanding negara lain. Misalnya mata uang Jepang yen yang depresiasinya di atas 15%. 

BI masih membutuhkan suku bunga tinggi untuk menarik minat investor masuk. Apalagi di saat seperti ini ketika isu kenaikan suku bunga Amerika semakin mencuat. Tidak heran, secara akumulatif dari awal tahun hingga November 2014, aliran masuk portofolio asing mencapai US$ 17,75 miliar. 

Aliran modal masuk masih dibutuhkan BI untuk membantu Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) agar tetap surplus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Digital Marketing for Business Growth 2025 : Menguasai AI dan Automation dalam Digital Marketing

[X]
×