Reporter: Adi Wikanto | Editor: Adi Wikanto
KONTAN.CO.ID - Jakarta. Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi menurunkan biaya haji tahun 2023 ini sebesar 30% dibandingkan tahun lalu. Namun Kementerian Agama (Kemenag) malah mengusulkan biaya haji Indonesia tahun 2023 malah naik.
Kemenag mengusulkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2023 ini naik dibanding 2022. Kenaikan biaya haji 2023 sebesar Rp 514.888,02.
Rata-rata biaya haji atau BPIH yang diusulkan tahun 2023 ini adalah Rp 98.893.909,11. Sementara rerata biaya haji atau BPIH 2022 sebesar Rp 98.379.021,09.
Sementara itu, biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) tahun 2023 sebesar Rp69.193.733. Bipih adalah komponen biaya yang dibayar oleh jemaah haji.
Jumlah biaya haji Bipih yang diusulkan tahun 2023 ini adalah 70% dari total Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp 98.893.909. Sisanya yang 30% (Rp29.700.175) diambilkan dari nilai manfaat pengelolaan dana haji.
Baca Juga: Kuota 221.000 Jemaah, Ini Usulan Biaya Haji 2023 & Rencana Jadwal Keberangkatan Haji
Di tengah usulan kenaikan biaya haji 2023, Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi menyatakan menurunkan biaya haji tahun 2023. Penurunan biaya haji tahun 2023 tersebut mencapai 30%.
Dilansir dari Kompas.com, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Jeddah Eko Hartono menerima informasi bahwa Arab Saudi memang menurunkan harga paket haji untuk jemaah domestik. Untuk haji domestik, kata Eko, harganya bervariasi tergantung layanannya, mulai dari 3.960 Riyal Saudi Arabia (sekitar Rp 16 juta), 6.000-an Riyal (Rp 24 juta), hingga 10.000-an Riyal (Rp 40 juta).
"Tahun 2022 lalu, harga mulai 5.666 Riyal (Rp 22,7 juta), jadi memang turun sekitar 30 persen ya. Tapi itu untuk masyair saja (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) selama 5 hari," ujarnya, saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (22/1/2023).
Arab Saudi telah mencabut semua pembatasan yang diberlakukan pada ibadah haji setelah pandemi virus corona. Menteri yang bertanggung jawab atas haji, Tawfiq Al Rabiah, mengatakan bahwa jumlah jemaah haji akan kembali ke angka pra-pandemi dengan pembatasan, termasuk batasan usia, menurut Kantor Pers resmi Saudi.
Sebelum pandemi, sekitar 2,5 juta umat Islam dari seluruh dunia biasanya berkumpul setiap tahun untuk menunaikan ibadah haji di kota suci Mekkah. Pada 2020, hanya beberapa ribu penduduk di kerajaan yang menunaikan ibadah haji di bawah aturan jaga jarak sosial yang ketat.
Sementara itu, pada 2021, sekitar 60.000 penduduk melaksanakan ibadah haji. Tahun lalu, sekitar satu juta jemaah menunaikan ibadah haji karena dibuka kembali untuk umat Islam di luar negeri.
Jika pemerintah Arab Saudi menurunkan biaya haji 2023, kenapa Kemenag usul biaya haji 2023 naik?
Dalam keterangan resmi, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief membenarkan bahwa Arab Saudi menurunkan paket layanan haji 1444 H sekitar 30% dari harga yang mereka tetapkan tahun 2022. Menurutnya, penurunan paket haji itu juga sudah diperhitungkan dalam usulan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1444 H/2023 M yang disusun pemerintah.
Dijelaskan Hilman, yang diturunkan oleh Pemerintah Arab Saudi adalah biaya paket layanan haji. Adapun yang dimaksud dengan paket itu adalah layanan dari 8-13 Zulhijjah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina atau yang biasa disebut juga dengan Armuzna atau Masyair.
Untuk warga domestik, Pemerintah Arab Saudi menawarkan empat paket layanan Masyair tahun 1444 H/2023 M dengan biaya sebagai berikut:
1. Mulai SAR 10,596 - SAR 11,841 (sekitar Rp43 juta - Rp48 juta)
2. Mulai SAR 8,092 - SAR 8,458 (sekitar Rp33 juta - Rp34,5 juta)
3. Mulai SAR 13,150 (sekitar Rp53,6 juta)
Saudi menawarkan juga paket keempat, mulai SAR 3,984 (sekitar Rp16 juta), namun tidak ada layanan di Mina (hanya akomodasi dan konsumsi di Arafah dan Muzdalifah)
“Itulah yang disebut paket layanan haji yang ditangani oleh Syarikah atau perusahaan di Saudi. Harganya pada tahun lalu karena alasan pandemi, naik sangat signifikan. Tahun ini alhamdulillah diturunkan. Jadi terkait paket layanan haji di Masyair, hitungan dalam usulan BPIH pemerintah juga turun, kisarannya juga 30% dan itu sangat signifikan,” tegas Hilman di Jakarta, Sabtu (21/1/2023).
"Tahun lalu paket layanan haji (Masyair) 2022 sebesar SAR5.656,87. Alhamdulillah tahun ini selain turun, Kemenag berhasil negosiasi hingga menjadi SAR4.632,87. Turun sekitar SAR1.024 atau 30%," sambungnya.
Jadi dalam usulan biaya haji BPIH tahun 2023 ini, kata Hilman, pemerintah sudah melakukan penyesuaian harga sesuai yang ditetapkan Saudi. Meski demikian, pihaknya tetap mempertahankan kualitas layanan bagi jemaah di Masyair.
“Kepada perusahaan penyedia layanan, kami tetap meminta komitmen agar dengan harga yang ditetapkan pemerintah Saudi itu, layanan yang diberikan kepada jemaah juga tetap berkualitas,” jelasnya.
Namun demikian, kata Hilman, komponen BPIH tidak hanya paket layanan haji. Komponen biaya haji yang diusulkan pemerintah kepada DPR itu juga mencakup layanan akomodasi, konsumsi, dan transportasi selama di Arab Saudi, baik Jeddah, Makkah, maupun Madinah.
"Di luar Masyair, masa tinggal jemaah sekitar 30 hari, baik di Makkah maupun Madinah. Ini kita siapkan semua layanannya," papar Hilman.
Selain itu, penyusunan usulan BPIH juga memperhatikan komponen kurs Dollar (USD) dan kurs Riyal (SAR). Dalam usulan itu, asumsi yang digunakan adalah Rp15.300 untuk kurs 1USD, dan Rp4.080 untuk kurs 1SAR. Pada 2022, kurs SAR yang digunakan adalah Rp3.846. Untuk kurs USD tahun 2022 adalah Rp14.425.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah komponen pesawat. Sebab, ini sangat bergantung pada harga avtur.
“Usulan pemerintah terkait BPIH 1444 H itu belum final, karena terbuka untuk dibahas bersama dengan Komisi VIII DPR. Semoga kita bisa mendapatkan rumusan yang paling pas terkait biaya haji tahun ini,” tandasnya.
Kenapa biaya haji Bipih Naik?
Kemenag mengusulkan BPIH tahun ini naik dibanding 2022. Kenaikannya sebesar Rp514.888,02. Sebab, rata-rata BPIH yang diusulkan tahun ini adalah Rp98.893.909,11. Sementara rerata BPIH 2022 sebesar Rp98.379.021,09.
Lantas, kenapa Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dibayar jemaah dalam usulan pemerintah justru naik?
Hilman menjelaskan bahwa itu terjadi karena perubahan skema prosentase komponen Bipih dan Nilai Manfaat. Pemerintah mengajukan skema yang lebih berkeadilan dengan komposisi 70% Bipih dan 30% nilai manfaat.
"Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk yang masih mengantre keberangkatan, tidak tergerus habis," terang Hilman Latief di Jakarta, Sabtu (21/1/2023).
Menurutnya, pemanfaatan dana nilai manfaat sejak 2010 sampai dengan 2022 terus mengalami peningkatan. Pada 2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang diberikan ke jemaah hanya Rp4,45 juta. Sementara Bipih yang harus dibayar jemaah sebesar Rp30,05 juta. Komposisi nilai manfaat hanya 13%, sementara Bipih 87%.
Dalam perkembangan selanjutnya, komposisi nilai manfaat terus membesar menjadi 19% (2011 dan 2012), 25% (2013), 32% (2014), 39% (2015), 42% (2016), 44% (2017), 49% (2018 dan 2019). Karena Arab Saudi menaikkan layanan biaya Masyair secara signifikan jelang dimulainya operasional haji 2022 (jemaah sudah melakukan pelunasan), penggunaan dan nilai manfaat naik hingga 59%.
"Kondisi ini sudah tidak normal dan harus disikapi dengan bijak," jelasnya.
Nilai manfaat, lanjut Hilman, bersumber dari hasil pengelolaan dana haji yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Karenanya, nilai manfaat adalah hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk lebih dari 5 juta yang masih menunggu antrean berangkat. Mulai sekarang dan seterusnya, nilai manfaat harus digunakan secara berkeadilan guna menjaga keberlanjutan. "Tentu kami juga mendorong BPKH untuk terus meningkatkan investasinya baik di dalam maupun luar negeri pasca pandemi Covid-19 ini, sehingga kesediaan nilai manfaat lebih tinggi lagi," tambahnya.
Jika komposisi Bipih dan Nilai Manfaat masih tidak proporsional, maka nilai manfaat akan cepat tergerus dan tidak sehat untuk pembiaayaan haji jangka panjang.
"Jika komposisi Bipih (41%) dan NM (59%), dipertahankan, diperkirakan nilai manfaat cepat habis. Padahal jamaah yang menunggu 5-10 tahun akan datang juga berhak atas nilai manfaat," urainya.
Untuk itulah, kata Hilman, Pemerintah dalam usulan yang disampaikan Menag saat Raker bersama Komisi VIII DPR, mengubah skema menjadi Bipih (70%) dan NM (30%). "Ini usulan pemerintah untuk dibahas bersama Komisi VIII DPR. Kita tunggu kesepakatannya, semoga menghasilkan komposisi paling ideal! Amin," jelas Hilman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News