Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah tampaknya masih ragu-ragu dalam menerapkan pajak global di Indonesia. Hal ini dikarenakan ketidakpastian global yang masih tinggi.
Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Pande Putu Oka mengatakan, pajak karbon merupakan instrumen nilai ekonomi karbon yang merupakan bentuk dari pungutan atas karbon.
Tujuan pengenaan pajak karbon ini adalah untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih ke aktivitas ekonomi hijau yang rendah.
Selain itu, penerapan pajak karbon juga menjadi instrumen yang mendukung pengendalian iklim untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Baca Juga: Carbon Banking dan Ekosistem Hijau
Kendati begitu, Ia bilang, pemerintah akan berhati-hati dalam menerapkan pajak karbon di Indonesia. Untuk itu, penerapannya akan mempertimbangkan berbagai indikator, mulai dari kesiapan para pelaku usaha di sektor terkait hingga kestabilan pemulihan ekonomi pasca Covid-19.
"Penerapan pajak karbon perlu mempertimbangkan kesiapan para pelaku usaha pada sektor terkait serta mempertimbangkan kestabilan pemulihan ekonomi pasca Covid-19," ujar Oka dalam Webinar, Senin (30/10).
Selain itu, pihaknya juga tengah mencari momentum yang tepat untuk mengimplementasikannya di tengah ketidakpastian global, seperti konflik geopolitik yang belum reda hingga pelemahan ekonomi China.
Baca Juga: Konsisten Lakukan Reformasi Perpajakan, Kemenkeu Implementasikan Core Tax System
"Serta tantangan dari ketidakpastian global lainnya seperti konflik geopolitik, pelemahan ekonomi China, disrupsi rantai pasok dunia dan lainnya," katanya.
Oka menyebut, pajak karbon sejatinya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang dimaksudkan untuk mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon dan ramah lingkungan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News