kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.526.000   -2.000   -0,13%
  • USD/IDR 16.240   -40,00   -0,25%
  • IDX 7.037   -29,18   -0,41%
  • KOMPAS100 1.050   -5,14   -0,49%
  • LQ45 825   -5,35   -0,64%
  • ISSI 214   -0,85   -0,40%
  • IDX30 423   -1,15   -0,27%
  • IDXHIDIV20 514   0,87   0,17%
  • IDX80 120   -0,69   -0,57%
  • IDXV30 125   1,36   1,09%
  • IDXQ30 142   0,26   0,18%

Antisipasi krisis keuangan, pemerintah ajukan RUU omnibus law sektor keuangan


Rabu, 25 November 2020 / 20:54 WIB
Antisipasi krisis keuangan, pemerintah ajukan RUU omnibus law sektor keuangan
ILUSTRASI. Antisipasi krisis keuangan, pemerintah merombak regulasi di sektor keuangan lewat omnibus law.


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Krisis yang terpacu pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) membuat banyak pelajaran bagi Indonesia. Pemburukan ekonomi akibat sebaran virus corona ikut menyeret sektor keuangan, bahkan bukan mustahil memacu krisis ekonomi yang lebih dalam. Tak ingin kondisi itu berlangsung di tahun-tahun mendatang, pemerintah menyusun jaring pengaman dengan mengajukan Undang-Undang yang memperkuat stabilitas sistem keuangan.

Bersama DPR, pemerintah berupaya memitigasi kemungkinan terjadi krisis keuangan dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Sektor Keuangan atau RUU tentang Penanganan Permasalahan Perbankan, Penguatan Koordinasi, dan Penataan Ulang Kewenangan Kelembagaan Sektor Keuangan.

Dalam RUU yang didapat Kontan.co.id  dilatarbelakangi beberapa masalah diterbitkannya beleid tersebut. Pertama, belum optimalnya pelaksanaan peran dan fungsi lembaga sektor keuangan antara lain karena regulatory forbearance dalam mengambil keputusan saat terjadi krisis, utamanya dalam sektor perbankan.

Baca Juga: LPS: Tak ada lagi lonjakan pertumbuhan simpanan di atas Rp 5 miliar

Sebagai contoh, terkait menyatakan kondisi bank gagal. Kondisi ini menyebabkan langkah penyehatan bank menjadi terhambat, bahkan bukan mustahil terlambat.

Hal tersebut disebabkan karena perbedaan pandangan mengenai penyehatan dan resolusi bank antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang justru berpotensi meningkatkan biaya penanganan menjadi lebih besar.

Kedua, pengawasan mikroprudensial dan makroprudensial yang masih terpisah, khususnya perbankan mengakibatkan koordinasi antar otoritas menjadi kurang cepat dan efektif. Terlebih apabila tidak diatur dalam suatu dasar hukum yang kuat.

Alhasil, pemerintah berencana segera membentuk Forum Pengawasan Perbankan Terpadu untuk penguatan koordinasi antarlembaga yang memiliki kewenangan, pengawasan, dan penyelesaian permasalahan di sektor keuangan, khususnya perbankan. Forum Pengawasan Perbankan Terpadu ini beranggotakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

“Forum bertugas merumuskan dan menetapkan indikator dan metodologi penilaian kondisi bank dengan menggunakan data dan informasi dalam sistem data dan informasi sektor keuangan terintegrasi dengan pendekatan proyeksi (forward looking),” sebagaimana dikutip dalam Pasal 4 RUU Penanganan Permasalahan Perbankan, Penguatan Koordinasi, dan Penataan Ulang Kewenangan Kelembagaan Sektor Keuangan yang diperoleh Kontan.co.id.

Dalam Forum Pengawasan Perbankan Terpadu, Dewan Komisioner OJK merangkap sebagai Kelapa Eksekutif Pengawas Perbankan sebagai koordinator, lalu diikuti satu anggota Dewan Gubernur BI, dan satu anggota Dewan Komisioner LPS, serta sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Pemerintah berharap, dengan kehadiran Forum Pengawasan Perbankan Terpadu nantinya bisa mengantisipasi potensi permasalahan perbankan secara lebih dini dan terkoordinasi. Koordinasi antarlembaga ini diperkuat dengan pembangunan dan pengembangan sistem data dan informasi sektor keuangan yang terintegrasi, sebagai single source of truth di sektor keuangan.

Penataan kewenangan lembaga sektor keuangan dirombak besar-besaran. Ada empat kewenangan LPS yang baru. Pertama, LPS diperkuat dengan mandat risk minimizer untuk melakukan penanganan bank lebih dini, dengan melakukan persiapan penanganan permasalahan bank dan penempatan dana.

Kedua, memperluas opsi pendanaan LPS dalam penanganan permasalahan bank. LPS berwenang untuk melakukan pengaturan resolution plan dan kebijakan single customer view. Adapun, LPS melaksanakan penjaminan simpanan berdasarkan kelompok nasabah.

Ketiga, dalam mengelola kekayaannya, opsi investasi LPS diperluas yakni pada surat berharga yang diterbitkan pemerintah negara asing (hard currency) dengan opsi maksimal 100% dari total kekayaan LPS.

Keempat, Ketua Dewan Komisioner LPS menetapkan keputusan akhir apabila musyawarah tidak tercapai mufakat dan bertanggung jawab kepada Presiden. Anggota Dewan Komisioner terdiri dari untur pihak independen atas usul Menteri Keuangan dan unsur ex-officio Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang diangkat oleh Presiden.

Baca Juga: Begini strategi bank besar menekan laju NPL di tengah pandemi



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×