CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.527.000   14.000   0,93%
  • USD/IDR 15.667   73,00   0,46%
  • IDX 7.322   78,61   1,09%
  • KOMPAS100 1.126   9,22   0,83%
  • LQ45 891   4,13   0,47%
  • ISSI 222   2,24   1,02%
  • IDX30 459   1,72   0,38%
  • IDXHIDIV20 554   -0,12   -0,02%
  • IDX80 129   0,93   0,73%
  • IDXV30 139   -0,18   -0,13%
  • IDXQ30 153   0,24   0,15%

Anggota DPR sebaiknya tidak dipilih jadi menteri


Minggu, 03 Agustus 2014 / 18:25 WIB
Anggota DPR sebaiknya tidak dipilih jadi menteri
ILUSTRASI. Inilah 5 Cara Restart Laptop Windows melalui Shortcut dan Menu Keyboard./pho KONTAN/carolus Agus Waluyo/01/11/2017.


Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Anggota DPR terpilih sebaiknya tidak ditunjuk menjadi menteri di dalam Kabinet Jokowi-Jusuf Kalla untuk periode 2014-2019. Hal itu diungkapkan oleh konsultan komunikasi politik, AM Putut Prabantoro, ketika ditanya soal kriteria menteri yang diperlukan bagi Kabinet Pemerintah 2014 -2019, di Jakarta, Minggu (3/8).

Menurutnya, pandangan tersebut terkait dengan komitmen pemerintahan Jokowi-JK  yang ingin program Revolusi Mental dijalankan secara konsisten. Alasannya adalah, kedudukan sebagai anggota DPR tidak lebih rendah dari jabatan menteri yang hanya merupakan pembantu presiden.

Dalam Revolusi Mental maka harus dihapuskan kesan bahwa jabatan menteri lebih tinggi daripada jabatan anggota DPR.

Menurut Putut Prabantoro, ketika mengajukan menjadi caleg, seseorang biasanya menawarkan diri dan baru kemudian direkomendasi oleh partai. Sangat jarang bahwa seorang caleg dipilih oleh partai karena track recordnya kecuali petahana (inkumben). Dalam upaya menarik perhatian dan sekaligus kemungkinan dipilih oleh calon konstituennya, para caleg biasanya menawarkan berbagai program kerja yang diharapkan menjadi daya tarik.

“Program-program itu wajib dilaksanakan oleh anggota DPR terpilih baik yang baru ataupun petahana.  Bahkan petahana memiliki kewajiban moral yang lebih karena bisa jadi, program yang dalam periode sebelumnya, belum terlaksana,” ujar Putut dalam rilisnya.

Selain itu, Anggota DPR, lanjut Putut, terikat secara moral kepada para pemilihnya. Sehingga menjadi kewajiban bagi para anggota DPR terpilih untuk benar-benar memperhatikan serta tidak mengecewakan para pemilihnya. Anggota DPR juga bertanggung jawab kepada daerah yang diwakili, yang sebelumnya adalah daerah pemilihannya (DAPIL).

Sehingga dalam kondisi seperti itu, kata Putut, anggota DPR harus meminta izin dahulu dari daerah pilihannya, jika memang yang bersangkutan ditunjuk menjadi seorang menteri. 

“Harapan seorang anggota DPR akan dipilih menjadi menteri merupakan budaya yang salah kaprah. Mengabdi kepada negara bisa melalui jalur apa saja tidak hanya menteri.  DPR dan Presiden adalah sederajat kedudukannya. Sehingga anggota DPR kedudukannya lebih tinggi dari menteri yang merupakan jabatan pembantu presiden,” tegasnya.

Budaya menganggap menteri lebih tinggi kedudukannya daripada anggota DPR tidak bisa dilepaskan dari praktik yang selama ini terjadi dimana departemen merupakan sapi perah bagi partai. Padahal kalau dilihat dari gaji, banyak atau sedikit adalah sangat relatif. Namun terkait dengan praktik sapi perah hal itu tidak dapat dilanjutkan lagi dengan dilaksanakannya Revolusi Mental.

 Yang paling penting, jika seorang anggota DPR terpaksa harus ditunjuk menjadi menteri, adalah siapakah yang akan bertanggung jawab atas program yang sudah dijanjikan kepada pemilih dan daerah yang diwakilinya. Ini sangat penting untuk menghapus budaya seakan-akan program yang dikampanyekan adalah omong kosong. Belum lagi, dijelaskan lebih detail oleh Putut, jika anggota DPR yang kemudian, ditunjuk menjadi menteri, ternyata dalam pileg lalu dipilih karena melakukan money politic.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×