Reporter: Kiki Safitri | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anggota DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) Subiyanto Pundi mengungkapkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 tahun 2018 tentang urun biaya dan selisih bayar dalam program JKN (Jaminan Kkesehatan Nasional) yang ditetapkan pada Desember 2018 merusak sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).
Menurutnya dalam menyelesaikan masalah defisit BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan seharsusnya menggunakan Undang-Undan Nomor 40 pasal 48 tahun 2004 tentang sistem jaminasn sosial nasional. Dimana dalam pasal tersebut dikatakan bahwa pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS.
“Komitmen Negara untuk menyehatkan keuangan BPJS Kesehatan sesuai Pasal 48 UU nomor 40 tahun 2004 harus dilaksanakan dengan cara mencairkan dana untuk tutup defisit JKN, bukan terbitkan Permenkes nomor 51/2018. Itu merusak sistim JKN,” kata Subiyanto kepada Kontan.co.id, Rabu (30/1).
Meski sejauh ini urun biaya masih belum diberlakukan namun menimbulkan kesesahan kepada para peserta BPJS Kesehatan karena dinilai memberatkan. Dalam permenkes ini disebutkan bahwa pembatasan biaya ditanggung 10% oleh peserta dengan perhitungan berdasarkan total tariff pada sistem Indonesia Case Base Groups (INA-CBG) degnan batasan Rp 30 juta.
Selain itu, untuk kunjungan peserta ke rumah sakit dengan kelas A atau B dikenakan biaya sebesar Rp 20.000 dan untuk kelas C dan D dikenakan biaya Rp 10.000. Selain itu, permen ini juga membatasi biaya untuk rawat jalan sebesar Rp 350.000 per 20 kali visit selama 3 bulan.
Subiyanto juga mengeluhkan dengan pembayaran iuran tiap bulannya namuntidak diimbangi dengan standar pelayanan yang memadai dinilai tidak adil bagi masyarakat. Maka dari itu ia berharap agar ada revisi.
“Jika Permenkes ini bertentangan dengan UU BPJS kita akan desak Menkes lakukan revisi. Hak peserta BPJS kesehatan yang sudah melaksanakan kewajiban bayar iuran, ikuti prosedur berobat, namun jika faskes tidak memiliki standar maka ini tidak adil dan kenapa Peserta yang dirugikan,” tegasnya.
Sebelumnya Kepala Humas BPJS kesehatan M Iqbal Anas Maruf menyebut bahwa aturan ini semata dilakukan untuk lebih mengedukasi masyarakan agar bijaksana dalam menggunakan fasilitas. Tidak perlulah masyarakat yang terkena sakit ringan harus berobat ke dokter spesialis di rumah sakit.
“Kita tidak bisa membiarkan penyalah gunaan karena faktor yang subjektif. Memang ini akan menyadarkan semua pihak baik peserta maupun rumah sakit. Program ini bukan pembiayaan tanpa keterbaatasan, ada batasan anggaran. Bahwa program ini harus dioptimalkan untuk membiayai penyakit yang memang harus ditanggung,” ujar Iqbal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News