Reporter: Kiki Safitri | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 tahun 2018 tentang urun biaya dan selisih bayar dalam program JKN (Jaminan Kkesehatan Nasional) yang ditetapkan Desember 2018 belum diberlakukan. Hal ini mengingat banyaknya penolakan yang terjadi karena dinilai memberatkan.
Kepala Humas BPJS kesehatan M Iqbal Anas Maruf mengatakan, bahwa ini dilakukan guna mengurangi potensi penyalahgunaan klaim kesehatan. Namun ia menegaskan bahwa ini belum diberlakukan dan masih dalam pembahasan.
“Aturan teknis ini kan diatur dalam Permenkes. Tapi saat ini urun biaya masih belum diberlakukan. Untuk memberlakukan ini harus ada rekomendasi dari kementerian kesehatan,” kata Iqbal kepada Kontan.co.id, Rabu (30/1).
Dalam Permenkes ini disebutkan bahwa pembatasan biaya ditanggung 10% oleh peserta dengan perhitungan berdasarkan total tariff pada sistem Indonesia Case Base Groups (INA-CBG) degnan batasan Rp 30 juta.
Selain itu, untuk kunjungan peserta ke rumah sakit dengan kelas A atau B dikenakan biaya sebesar Rp 20.000 dan untuk kelas C dan D dikenakan biaya Rp 10.000. Selain itu, permen ini juga membatasi biaya untuk rawat jalan sebesar Rp 350.000 per 20 kali visit selama tiga bulan.
Sejauh ini Iqbal menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasioal (DJSN) terus melaksanakan pembahasan terkait dengan usulan dari permenkes ini. Pada Januari ini dibentuk sebuah tim untuk membahas terkait aturan-aturan dalam Permenkes tersebut.
“Timnya kan baru bekerja dan baru terbentuk di Januari ini, nantikan terkait dengan usulan (revisi) yang di permenkes nanti dibahas apa saja item yang akan di kenakan, tapi ini utamanya lebih ke faktor potensi penyalah gunaan klaim,” ungkapnya.
Selanjutnya untuk penolakan dan usulan yang muncul dari berbagai pihak sejauh ini, masih ditampung aspirasinya. Sayangnya ia tidak menjelaskan secara rinci terkait dengan usulan-usulan yang sudah dikemukakan.
“Itu peraturan pemerintah dikeluarkan oleh Menkes kalau memang ada keberatan atau apa pun bisa disampaikan. BPJS hanya pelaksana, kalau usulan katanya (Menkes) sudah ada, mungkin harus dibahas antar tim. Supaya resistensi soal itu menjadi point penting untuk di perhatikan pemerintah,” ungkapnya.
Saat ini BPJS Kesehatan sedang menjalani audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengetahui alokasi anggaran yang harus diselesaikan terkait masalah defisit BPJS Kesehatann. Namun untuk menutupi defisit, beberapa kebijakan menambah pendapatan BPJS Kesehatan sudah diberlakukan.
“Kalau kita lihat alokasi dana tahun 2017 itu, Rp 74 triliun. Pasti dengan jumlah peserta yang semakin bertambah, adanya intersep Kemkeu dan juga pajak rokok yang menambah pendapatan,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News