kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Anggaran minim penanganan HIV/AIDS di Indonesia


Selasa, 23 Juli 2019 / 07:00 WIB
Anggaran minim penanganan HIV/AIDS di Indonesia


Reporter: Fahriyadi, Yusuf Imam Santoso | Editor: Syamsul Azhar

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Virus HIV/AIDS bak sebuah fenomena gunung es, semakin kita mencari bakal bertambah banyak orang terkena penyakit ini. Bahkan, sudah banyak anak di bawah 15 tahun yang hidup dengan HIV/AIDS (ADHA).

Namun, fokus pemerintah untuk menangani masalah HIV/AIDS masih kurang. Hal ini terlihat dari minimnya alokasi anggaran. 

Pemerintah terus meningkatkan anggaran kesehatan sejak 2014. Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat anggaran kesehatan 2014 hanya Rp 59,7 triliun, dan tahun ini melesat lebih dari dua kali lipat mencapai Rp 123,1 triliun.

Hanya saja, anggaran untuk penanganan HIV/AIDS belum menjadi fokus penggunaan anggaran. Pemerintah masih memakai anggaran untuk tiga hal, yakni penanganan stunting, prevalensi tuberkulosis, dan eliminasi malaria.

Padahal, jumlah ADHA terus bertambah tiap tahun. Kementerian Kesehatan (Kemkes) mencatat ada 1.133 ADHA pada tahun 2014. Lalu, ADHA pada tahun 2018 meningkat menjadi 1.447 anak. 

Keterbatasan anggaran menyebabkan terjadinya kesenjangan dana dalam penanganan HIV/AIDS. Dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019 Penanggulangan HIV dan AIDS Di Indonesia, mencatat kebutuhan pendanaan terkait HIV/AIDS tahun 2019 sebesar US$ 184,71 juta. Namun, anggaran yang tersedia hanya US$ 75,59 juta, sehingga ada kekurangan US$ 109,12 juta. Kesenjangan dana terus meningkat sejak tahun 2015 yang hanya US$ 22,45 juta.

Meski belum menjadi fokus utama, Kementerian Kesehatan (Kemkes) memastikan anggaran dari APBN untuk mengatasi HIV/AIDS juga meningkat seiring penambahan anggaran kesehatan. "Tahun ini (anggaran penanganan HIV/AIDS) sekitar Rp 2,5 triliun. jumlah ini sebenarnya sudah cukup besar untuk dimanfaatkan para penderita HIV/AIDS," jelas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemkes, Anung Sugihantono pekan lalu.

Menurut Anung, sejak 2017, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki program untuk peningkatan kualitas manusia Indonesia. Untuk itu anggaran penanganan HIV dan AIDS mulai meningkat pesat sejak tahun 2018. 

Namun Anung tak merinci anggaran tahun 2018. Yang jelas, dari anggaran tahun ini Rp 2,5 triliun, sebanyak Rp 1,1 triliun khusus untuk belanja obat. "Anggaran ini sangat besar, diharapkan mampu menurunkan angka penderita ODHA dan ADHA," papar Anung.

Anung memastikan, anggaran untuk penanganan HIV/AIDS bisa stabil atau bahkan naik pada tahun berikutnya, terutama anggaran untuk melaksanakan fungsi pencegahan. Selain itu pemerintah akan memperbanyak pengadaan alat skrining hingga bisa menyesuaikan dengan angka kehamilan di Indonesia yang mencapai 5,2 juta orang per tahun. Langkah ini akan efektif mencegah penambahan ADHA.

Kendala lain

Menurut Anung, salah satu masalah mengatasi virus ini bukan saja mencari orang yang dicurigai menderita HIV tapi juga memintanya untuk rutin mengonsumsi obat. Dia bilang dari sekitar 640.000 penderita HIV yang kerap diprediksi dan dipublikasikan berbagai pihak, Kemkes mencatat ada 338.000 orang yang ditemukan mengidap virus ganas ini. "Hanya saja yang mau minum obat cuma 188.000 orang," ungkap Anung.

Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek memastikan, pemerintah berupaya maksimal untuk mencegah peningkatan jumlah ADHA. Agar anak-anak tak berdosa tidak menanggung virus yang diderita oleh ibunya, pemerintah memberi fasilitas pemeriksaan kandungan dan skrining untuk mendiagnosa virus itu secara gratis. Fasilitas itu bisa didapatkan di puskesmas, klinik, hingga rumah sakit yang tersebar di seluruh Indonesia. 

Saat ini terdapat 7.093 layanan kesehatan yang bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi dan mengobat HIV/AIDS. "Bila positif HIV ibu tersebut bisa minum obat antiretroviral (ARV) yang disediakan pemerintah," terang Nila.

Nila menegaskan, anak usia 0-14 tahun yang mengidap HIV hampir dipastikan berasal dari orang tuanya dalam hal ini ibu yang melahirkannya. Untuk itu, pemerintah selalu mengimbau kepada para orang tua, baik ibu atau bapak untuk memeriksakan kondisinya ke dokter. "Kebanyakan orang tua ini malu atau enggan ketika diminta untuk periksa, akhirnya anak yang jadi korban," papar Nila.

Bahkan, pencegahan penularan HIV/AIDS bisa efektif jika sebelum usia kandungan berusia 4-6 bulan. Ibu hamil bisa menghindari anak dalam kandungannya bersih dari virus HIV dengan minum obat ARV  secara rutin dan mendapat bimbingan dari tenaga medis.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengakui anggaran pemerintah menangani ODHA dan ADHA masih minim. Selama ini anggaran tersebut masih terfokus untuk obat dan tenaga medis. Padahal, penanganan penderita HIV/AIDS yang utama adalah sosialisasi dan bimbingan. 

"Anggaran yang digelontorkan pemerintah masih minim sehingga rehabilitasi belum merata," kata Ace. Akibatnya, banyak penderita HIV/AIDS yang tidak terkover layanan pemerintah karena ketidaktahuan. Selain itu, saat ini banyak ODHA dan ADHA yang berhenti menjalani pengobatan karena bosan dan capek.             n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×