Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) mendorong pemerintah untuk meningkatkan peran swasta dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Ketua Umum DPP AMPHURI, Firman M Nur, menilai bahwa amandemen Undang-Undang Haji dan Umrah saat ini harus diarahkan pada perbaikan tata kelola yang lebih modern dan adaptif terhadap kebijakan Pemerintah Arab Saudi.
“Kita harus melihat bahwa Arab Saudi dengan Visi 2030 memiliki tata kelola yang jauh lebih baik dan modern berbasis digital. Namun di sisi lain, mereka justru memberikan proporsi penyelenggaraan kepada pihak swasta yang sangat kuat. Kami harapkan, itu sejalan juga di Indonesia,” ujar Firman dalam acara Media Gathering di Jakarta Selatan, Jumat (1/8).
Firman menyebut sejumlah negara telah berhasil mengelola kuota haji dengan pelibatan swasta secara signifikan.
Baca Juga: PMI Manufaktur Masih Kontraksi, Indef Soroti Lesunya Daya Beli dan Gempuran Impor
Di Turki, dari 80.000 kuota haji yang tersedia, 60% dialokasikan ke pihak swasta. Di Pakistan, dari total 179.000 kuota, sekitar 50% dikelola oleh swasta. Malaysia pun memberikan porsi sebesar 20%.
Namun, di Indonesia, dari total kuota 210.000, hanya 8% yang dipercayakan kepada swasta melalui skema Haji Khusus.
AMPHURI menyoroti ketentuan dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Haji dan Umrah yang saat ini dibahas di DPR RI, terutama Pasal 8 ayat (4) yang menyebut kuota haji khusus paling tinggi 8%.
Padahal dalam UU No. 8 Tahun 2019 pasal 64 ayat (2), kuota haji khusus justru ditetapkan sebesar 8%. Menurut Firman, rumusan baru tersebut merupakan kemunduran.
“Frasa ‘paling tinggi’ bersifat elastis dan tidak mengikat. Ini rawan dimanipulasi, menciptakan ketidakpastian hukum, dan mengancam keberlangsungan layanan haji khusus yang selama ini terbukti berjalan baik,” tegas Firman.
Ia menambahkan, penyelenggaraan haji khusus oleh PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus) telah berlangsung profesional tanpa mengganggu pelaksanaan haji reguler.
Oleh karena itu, pengurangan kuota secara sepihak dinilai sebagai bentuk pembatasan hak jamaah dalam memilih layanan ibadah yang sah dan berkualitas.
“AMPHURI merekomendasikan agar ketentuan dalam RUU diubah menjadi “kuota haji khusus ditetapkan sekurang-kurangnya 8% dari kuota nasional,” jelas Firman.
Menurut Firman, rumusan ini tetap membuka ruang pengawasan negara, tetapi memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi jamaah maupun penyelenggara haji.
Dalam sidang paripurna DPR RI pada 24 Juli 2025 lalu, draf RUU Haji dan Umrah telah disepakati. Dari delapan fraksi, hanya Fraksi PKS yang menyebut batas maksimal 8% untuk kuota haji khusus, sementara tujuh fraksi lainnya tidak menyebutkan pembatasan apapun.
AMPHURI juga mengkritik Pasal 86 Ayat 1 yang berbunyi “umrah dapat dilakukan secara mandiri”.
AMPHURI memandang bahwa pengaturan mengenai jemaah umrah mandiri dalam RUU ini tidak memiliki definisi, batasan, maupun mekanisme perlindungan yang jelas.
Hal ini berisiko membuka peluang percaloan, penyelenggaraan liar, serta merusak tatanan ekosistem penyelenggaraan umrah yang selama ini diatur melalui PPIU resmi.
“Di saat UU No. 8 Tahun 2019 menempatkan jamaah sebagai subjek yang harus dilindungi, konsep ‘mandiri’ justru mendorong mereka untuk menjadi pihak yang berjuang sendiri, tanpa perlindungan hukum, jaminan layanan, atau kejelasan tanggung jawab,” tutup Firman.
Baca Juga: Haedar Nashir: BPKH Harus Tetap Independen dan Fokus Memberdayakan Umat
Selanjutnya: Pekan Ini IHSG Terkoreksi Tipis 0,08%, Bagaimana Proyeksi Pekan Depan?
Menarik Dibaca: DLH Jakarta Luncurkan Fitur eMaggot di Aplikasi eKSR, Sistem Digital Jual Beli Magot
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News