Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asian Development Bank (ADB) menyatakan pengembangan industri manufaktur merupakan kunci penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tanpa perbaikan dan pengembangan sektor manufaktur, sulit bagi Indonesia mengejar pertumbuhan ekonomi 5,5% - 6,3% pada periode 2020-2024.
Dalam laporan Asia Development Outlook 2019, Rabu (3/4), ADB menilai hambatan transformasi sektor manufaktur Indonesia terletak pada minimnya industri skala besar yang masuk ke sektor manufaktur. ADB menemukan justru 99% perusahaan manufaktur di Tanah Air didominasi skala usaha mikro dan kecil.
Padahal, usaha manufaktur skala mikro dan kecil umumnya memiliki produktivitas rendah dan kurang mampu mengadopsi kemajuan teknologi. Itulah sebabnya mengapa industri manufaktur Indonesia masih minim dalam memanfaatkan teknologi digital seperti komputasi awan (cloud computing), big data, kecerdasan artificial (AI), machine learning, dan internet of things (ToT).
Padahal, ADB menerangkan, teknologi tersebut memungkinkan industri manufaktur lainnya di negara-negara lain menyederhanakan alur logistik, mengembangkan produk baru, dan menumbuhkan skala perusahaan mereka.
Tak heran, Economist Intelligence Unit untuk periode 2018-2022 menempatkan Indonesia pada peringkat teknologi hampir terbawah, yaitu ke-67, di antara negara Asia. Ini menunjukkan rendahnya kesiapan teknologi, masih terbatasnya akses internet, serta rendahnya kualitas layanan digital di Indonesia.
Begitu pun dengan World Economic Forum yang menempatkan Indonesia di belakang jajaran negara lain di Asia dalam laporan the Future of Production Report 2018 lalu.
Memang, pemerintah berupaya memperbaiki situasi ini dengan meluncurkan misi jangka menengah panjang yaitu Making Indonesia 4.0 atau Revolusi Industri 4.0. Lima subsektor manufaktur yang menjadi fokus peningkatan teknologi dan produktivitas adalah makanan dan minuman, tekstil dan garmen, mobil, elektronik, dan bahan kimia.
Kendati begitu, layaknya strategi ambisius pada umumnya, ADB menilai Revolusi Industri 4.0 hanya berbicara soal tujuan jangka panjang, tanpa menyediakan langkah implementasi yang rinci.
Revolusi Industri 4.0 dianggap tidak mengartikulasikan bagaimana pemerintah akan mengatasi masalah yang saling terkait, yaitu dominasi UMKM dan rendahnya penggunaan teknologi baru di bidang manufaktur. Menurut ADB, pemerintah mesti lebih intensif berkonsultasi dengan industri dan pelaku bisnis untuk merumuskan peta jalan kebijakan (road-map) yang detail.
"Road-map harus fokus pada, antara lain, bagaimana membantu UMKM mengadopsi teknologi baru, meningkatkan akses ke keuangan, berinvestasi dalam infrastruktur digital, dan meningkatkan difusi teknologi di seluruh perusahaan," terang ADB.
Setidaknya satu dari empat UMKM di Indonesia masih mengeluhkan akses keuangan yang tidak memadai sebagai kendala utama untuk ekspansi usaha. Pemerintah disarankan fokus memperbaiki kendala ini agar biaya dan prosedur bagi usaha kecil dan menengah untuk memperoleh pinjaman bank bisa lebih sederhana.
Selain itu, ADB menyebut, diperlukan investasi yang lebih tinggi dalam infrastruktur digital. Tak ada salahnya perusahaan mengadopsi teknologi canggih yang ditawarkan asing, untuk kemudian mendorong inovasi asli di dalam negeri.
"Pembentukan forum pengetahuan di mana perusahaan asing dan lokal bertukar informasi dan pengalaman juga perlu. Serta forum di mana perusahaan domestik meningkatkan kesadaran mereka tentang manfaat dari teknologi yang muncul," terang ADB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News