kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Ada empat pola penyuapan hakim MK, seperti apa?


Senin, 14 Oktober 2013 / 07:00 WIB
Ada empat pola penyuapan hakim MK, seperti apa?
ILUSTRASI. Pejalan kaki melintas dekat panduk modal Ventura di Jakarta. KONTAN/Cheppy A. Muchlis


Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, ada empat pola pemberian suap kepada hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Dia menduga, empat pola itu yang biasa dipakai para hakim dan pihak berperkara dalam bertransaksi.

Pertama, katanya, hakim konstitusi sengaja memeras pemenang sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada). Dia mengatakan, dalam pola ini, saat mempelajari perkara, hakim sebenarnya sudah tahu permohonan tidak layak dikabulkan.

"Tidak ada potongan perkara untuk dikabulkan. Tapi ia (hakim konstitusi) tetap memeras juga, menginjak kaki pemenang. Mereka (pihak yang menang) pasti mau bayar, dan transaksi Rp 1 miliar itu terlalu kecil untuk mengamankan kemenangan," ujar Refly.

Kedua, tuturnya, pasangan calon kepala daerah yang sudah ditetapkan menang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) khawatir kemenangannya dianulir MK. Oleh karenanya, kata Refly, yang bersangkutan bergerak cepat dengan menyuap hakim.

"Mereka yang berperkara takut kemenangannya dibatalkan MK. Kemudian biaya suap masuk. Tapi harus ada brokernya (makelar)," katanya.

Pola ketiga, ia menjelaskan, hakim sudah mengetahui pemenang sengketa di MK. Ia menuturkan, dengan pengetahuannya itu, hakim yang bersangkutan akan mendatangi pihak pemenang dengan membawa amar putusan yang palsu. Dia mengatakan, dalam amar palsu dituliskan, pihak yang menang justru dikalahkan.

"Hakim yang punya kepentingan memeras klien. Kalau tidak mau bayar, maka putusannya begini (mengalahkan pihak yang diperas)," lanjutnya.

Ia mengatakan, dalam tiga pola tersebut, hakim konstitusi bisa jadi hanya bermain sendiri. Pola keempat, ujarnya, seperti yang terjadi pada sengketa Pilkada Kabupaten Lebak.

"Untuk mengubah yang menang jadi kalah, yang kalah jadi menang sehingga diperintahkan pemungutan suara ulang," katanya.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Mahkamah Konstitusi nonaktif Akil Mochtar sebagai tersangka untuk dua kasus dugaan suap, yaitu dugaan suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan dugaan suap sengketa Pilkada Lebak, Banten.

Pengumuman tersangka ini disampaikan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (3/10/2013) sore oleh Ketua KPK Abraham Samad. (Deytri Robekka Aritonang/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×