Sumber: TribunNews.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad sebut pejabat negara yang melakukan korupsi sama dengan pembunuh berdarah dingin. Dia bilang, korupsi itu salah satu penyebab banyak masyarakat hidup dibawah garis kemiskinan.
Abraham Samad mengatakan, pejabat tinggi seperti kepala daerah maupun kepala lembaga pemerintah sudah menerima gaji yang cukup. Jika sang pejabat masuk melakukan korupsi, Abraham Samad menyebut hal itu sebagai keserakahan.
Ia menyebutkan, suatu daerah di mana masyarakatnya banyak yang makan nasi aking. Bahkan anak-anak untuk menuju ke sekolah harus meniti jembatan hancur yang melintang di atas sungai deras. Abraham tidak menyebut nama lokasi itu, namun kasus jembatan rusak itu sempat marak di Provinsi Banten, yang kasus korupsinya sedang ditangani KPK.
"Bayangkan ada gubernur keluarganya mewah, mobilnya banyak. Warganya makan nasi aking. Anak sekolahnya menyebrang sungai menantang maut. Orang ini sebenarnya pembunuh berdarah dingin," kata Abraham dalam acara Refleksi Akhir Tahun Pekan Politik Kebangsaan, di kantor International Confrence of Islamic Scholars (ICIS), di Matraman, Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2013),
Abraham Samad menyebut pejabat semacam itu tidak bisa dimaafkan, karena korupsi yang dilakukan karena mental sang pejabat yang tamak
Ia mencontohkan dengan kasus Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. Kata Abraham, gaji Rudi di SKK Migas mencapai sekitar Rp 230 juta per bulan.
Belum lagi gaji Rudi dari Bank Mandiri yang mencapai Rp 80 juta per bulan. Dengan total gaji sekitar Rp 300 juta per bulan, Rudi tertangkap basah menerima suap dari pengusaha minyak.
"Artinya dia tamak, dia tidak peduli orang lain. Integritasnya hancur. Kalau ada pejabat korupsi, treatmennya orang ini harus dihukum mati," ujarnya.
Dalam kesempatan itu ia juga mengatakan sempat ada seorang kepala daerah yang "curhat" karena gajinya kecil. Abraham mengaku langsung menghardik sang pejabat karena selain gaji seorang pejabat juga menerima tunjangan yang luar biasa, bahkan mengganti tirai rumah pun juga dianggarkan pemerintah.
Kasus pejabat dengan gaji tinggi, kata Abraham Samad, tidak bisa disamakan dengan korupsi pejabat bergaji rendah. Ia mencontohkan bila seorang pegawai keluarhan bergaji Rp 3 juta perbulan mengambil pungutan liat (pungli) dari setiap orang yang mengurus KTP sebesar Rp 5 ribu rupiah, tidak bisa disamakan hukumannya dengan pejabat tinggi.
"Bayangkan gaji 3 juta untuk biayai anak tiga, dan sekolah semua. Tidak cukup. Jika PNS korupsi karena negara tidak hadir, treatmennya berbeda, tidak boleh dihukum mati," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News