Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pelunasan utang jatuh tempo masa pemerintahan Prabowo (2025-2029) diperkirakan mencapai sekitar Rp 4.000 triliun. Pada tahun 2025 saja, utang jatuh tempo mencapai Rp 800,33 triliun, dengan bunga utang sebesar Rp 552,85 triliun.
Kepala Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Suhindarto menilai, hal ini harusnya masih dalam batas aman, mengingat proporsi SBN (Surat Berharga Negara) yang jatuh tempo didominasi rupiah, sehingga risiko terhadap pelemahan nilai tukar (currency mismatch) dapat ditekan.
"Proporsinya lebih dari 80% dari seluruh SBN yang akan jatuh tempo hingga tahun 2029 tersebut. Sehingga dari sini bisa disimpulkan bahwa risiko translasi pemerintah dalam melunasi utangnya juga cukup minim," ungkapnya kepada Kontan, Rabu (9/7).
Selain itu, Suhindarto mengatakan, sejauh ini pengelolaan fiskal tetap sesuai dengan amanat Undang-Undang Keuangan Negara.
Baca Juga: Waspada Risiko Utang Jatuh Tempo pada Masa Pemerintahan Prabowo, Bisa Gagal Bayar?
“Meski defisit 2024 diperkirakan akan melebar, Menteri Keuangan tetap menjaga agar angkanya tidak melampaui batas maksimal 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB),” ujarnya.
Ia menyebut, pelebaran defisit tidak sepenuhnya ditutup dengan penerbitan utang baru. Pemerintah juga akan mengandalkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) tahun anggaran 2024, yang penggunaannya telah disetujui oleh DPR.
Menurut Suhindarto, keberadaan SAL menjadi sinyal positif bahwa pemerintah masih menjaga prinsip kehati-hatian fiskal.
“Pengelolaan anggaran negara masih tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian,” katanya.
Struktur utang yang kuat ini juga menjadi salah satu faktor yang mendukung stabilitas fiskal Indonesia di mata investor internasional. Suhindarto mengungkapkan bahwa tiga lembaga pemeringkat global Moody’s, Fitch, dan S&P, masih mempertahankan peringkat utang Indonesia pada level BBB, atau satu notch di atas batas investment grade.
“Dengan peringkat itu, saya masih melihat bahwa pemerintah masih layak untuk mencari pendanaan dari masyarakat, termasuk juga dari luar negeri,” katanya.
Meski demikian, pengelolaan risiko utang tetap menjadi perhatian utama, terutama karena profil jatuh tempo SBN menunjukkan konsentrasi pembayaran dalam beberapa tahun ke depan. Namun, karena mayoritas berbentuk rupiah, pemerintah relatif memiliki kendali lebih besar melalui instrumen pasar domestik.
Di tengah tekanan global yang ditandai oleh ketidakpastian suku bunga dan gejolak nilai tukar, Suhindarto menilai bahwa konsistensi menjaga defisit dan struktur utang yang sehat adalah kunci menjaga kredibilitas fiskal.
Baca Juga: Akses Pendanaan ke Bank Terbatas, Fenomena Gagal Bayar Korporasi ke Pinjol Kian Naik
Selanjutnya: OJK: Total Dana yang Diblokir Melalui IASC Rp 558,7 Miliar per Juni 2025
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Sarapan saat Diet Tubuh, Cegah Keinginan Ngemil Tengah Malam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News