Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin sudah memerintah 100 hari sejak dilantik pada 20 Oktober 2019. Namun sejauh ini, gebrakan ekonomi Jokowi-Amin masih minim.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, kebijakan yang dikeluarkan Jokowi minim akan gebrakan baru khususnya kebijakan yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Virus corona bisa berdampak lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi China dari SARS
"Saya pikir dalam 100 hari pertama Jokowi yang kedua ini, berbeda dengan tahun 2004, kalau dulu lebih banyak dobrakan. Kali ini minim sekali, di 100 hari kerja ini kurang banyak action," ujar Faisal kepada Kontan, Senin (27/1).
Menurut Faisal, memang ada beberapa kebijakan baru yang dilontarkan Jokowi dalam nota keuangan tahun lalu. Kebijakan tersebut antara lain fokusnya dalam memajukan Sumber Daya Manusia (SDM) dan tetap meningkatkan pembangunan infrastruktur. Namun, dia berpendapat cara untuk mencapai tujuan tersebut kabur atau tidak jelas.
Sama halnya seperti RUU Omnibus Law yang tengah digodok pemerintah. Faisal menilai RUU ini belum jelas seperti apa arahnya ke depan. Dia melihat, RUU Omibus Law yang ramai diperbincangkan saat ini seolah-olah hanya dimaksudkan untuk mempermudah investasi dengan memangkas regulasi.
"Mau diarahkan kemana investasinya ini belum ketahuan. Omnibus law ini memang ada klaster-klasternya, tetapi kemudian ini diarahkan ke tujuan besar yang mana," tutur Faisal.
Baca Juga: Seberapa besar dampak wabah virus corona ke ekonomi China dan global?
Dia berpendapat, seharusnya RUU Omnibus Law ini menjadi jalan pemerintah untuk mencapai target-target jangka panjang yang ditetapkan. Sementara, Faisal tidak melihat ada target-target terukur melalui omnibus law ini, target tersebut misalnya berapa besar pertumbuhan ekonomi akibat adanya investasi yang masuk dan lainnya.
Faisal mengakui, adanya investasi yang masuk akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, dia melanjutkan, investasi yang akan masuk ke Indonesia pun harus disaring.
"Seharusnya kita melihat investasi mana yang kita prioritaskan, mana yang dibuka dan mana yang ditutup. Untuk mendorong perekonomian, tidak semua bisa didorong masuk," tambah Faisal.
Tak hanya soal investasi, dalam kepemimpinan Jokowi selama 100 hari ini, Faisal melihat tidak ada kebijakan Jokowi yang ditujukan untuk mendorong ekspor. Padahal, menurut Faisal, ekspor merupakan salah satu hal yang sering diungkit oleh Jokowi. Ekspor pula lah yang menjadi satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi selama lima tahun terakhir. Pemerintah kan pernah menargetkan pertumbuhan ekonomi di 7%, itu tidak tercapai karena apa. Memang ada faktor eksternal. Tetapi kan tidak semuanya kita bisa bilang pengaruh global, kebijakan dalam negeri juga harus dievaluasi, seperti kebijakan ekspor. Mengapa semakin buruk di 2 tahun terakhir, defisit neraca dagang dan CAD meningkat," tutur Faisal.
Baca Juga: Pertumbuhan uang kartal per Desember 2019 capai 5,9%, apa kata ekonom?
Lebih lanjut, Faisal berpendapat hal-hal yang justru tak menjadi rencana Jokowi dalam beberapa tahun terakhir justru menjadi fokus saat ini. Misalnya proyek pembangunan ibu kota baru. Dia menilai, pembangunan ibu kota negara justru yang paling jelas progresnya hingga saat ini.
Faisal menilai, bila pemerintahan Jokowi tetap seperti saat ini, dia khawatir target-target jangka panjang yang ditetapkan pemerintah tidak akan tercapai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News