Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah masalah masih mengganjal sektor perkebunan atau soft comodity dalam negeri .
Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian mengatakan, saat ini produktivitas perkebunan masih belum maksimal karena beberapa alasan. Di sisi hulu, hal ini terjadi karena penggunaan bibit unggul masih terbatas, teknik berkebun juga tidak berkembang.
Isu pupuk juga menjadi masalah bagi pekebun karena harga pupuk yang semakin mahal, sehingga pemupukan tidak optimal. Di lain sisi, tanaman perkebunan di dalam negeri juga relatif sudah sangat tua dan membutuhkan peremajaan.
"Misalnya teh itu banyak yang belum di-replanting sejak dari zaman penjajahan," jelas Eliza pada Kontan.co.id, Kamis (9/5).
Baca Juga: Apkasindo Minta Negara Tidak Kalah Oleh Aksi Penjarahan Sawit
Sementara di hilir, masalah pananganan pasca panen dan pengelolaanya juga tidak terstandar. Hal ini menyebabkan kualitas produk yang dihasilkan berfariatif dan belum konsisten.
Menurutnya, ini terjadi karena banyak penanganan pasca panen yang belum tersentuh teknologi. Ia melihat ada gap yang cukup besar antara riset teknologi di level R&D dengan yang riil di petani/pekebun.
"Kita kekurangan pihak yang bisa tranfer knowledge dan teknologi," jelas Eliza.
Kondisi ini diperparah karena jumlah penyuluh di setiap daerah sentra produksi pertanian dan perkebunan sangat terbatas. Sehingga pendampingan untuk peningkatan kualitas sumber daya petani dan pekebun tidak maksimal.
Eliza juga melihat kebijakan di sektor perkebunan dan pertanian ini masih belum berpihak pada kesejahteraan pekerjaanya.
"Jadinya sektor pertanian secara luas ini hanya business as usual saja, tidak ada inovasi dan lompatan yang mengakibatkan stagnasi bahkan cenderung penurunan produksi," kata Eliza.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News