kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pro kontra skema keberatan dalam UU KUP


Rabu, 06 Desember 2017 / 20:58 WIB
Pro kontra skema keberatan dalam UU KUP


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Skema keberatan yang berlaku dalam UU KUP dinilai memicu kenaikan jumlah piutang pajak seiring dengan lonjakan kasus sengketa pajak. Mengutip Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), selama kurun 2012-2016 jumlah piutang pajak naik signifikan.

“Untuk menjamin hak negara atas pajak yang masih harus dibayar tanpa harus ditunda karena pengajuan keberatan atau banding, maka perubahan sebaiknya dilakukan,” kata Wakil Ketua Komisi XI DPR sekaligus politisi PAN Achmad Hafisz Thohir di Gedung DPR RI, Rabu (6/12).

Pada 2012 jumlah sengketa pajak tercatat Rp 55 triliun dan naik jadi Rp 80 triliun pada 2013, lalu naik terus sampai sebesar Rp 122 triliun pada 2016. Peningkatan jumlah sengketa itu diikuti dengan melonjaknya piutang pajak di mana pada 2012 piutang pajak sebesar Rp 71 triliun dan naik pada 2013 menjadi Rp 77 triliun sampai pada 2016 senilai Rp 101 triliun.

Asal tahu saja, sebelum 2007, skema yang ditetapkan adalah tidak menunda pembayaran, sehingga setelah terbitnya surat ketetapan pajak (SKP) petugas pajak bisa menagih pajak terutang wajib pajak.

Namun, pemerintah mengganti ketentuan itu di mana Pasal 25 Ayat 7 KUP mengatur bahwa dalam hal WP mengajukan keberatan, jangka pelunasan pajak tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Artinya, fiskus baru bisa menagih pajak setelah ada keputusan soal keberatan tersebut.

Nah, dalam revisi Undang-Undang KUP, pemerintah ingin mengembalikan ke konsep sebelum 2007. Pasal 68 draf UU KUP menyebutkan pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Namun demikian, kalangan pengusaha menyatakan bahwa apabila Pasal 68 ini dimasukkan, maka akan memberatkan dunia usaha.

“Seharusnya saat WP melakukan keberatan, maka belum inkracht. Bagaimana mungkin kita wajib membayar dulu? Oleh karena itu kami mengusulkan bahwa kalau ada proses keberatan berjalan, harusnya belum harus eksekusi hal tersebut,” kata dia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×