kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pajak progresif aset nganggur belum jadi prioritas


Senin, 10 April 2017 / 21:23 WIB
Pajak progresif aset nganggur belum jadi prioritas


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Rencana pemerintah untuk mengenakan pajak progresif terhadap aset menganggur atau unutilized asset tax (UAT) dipastikan tidak akan berlaku dalam waktu dekat.

Sebelumnya, pajak tinggi kelak tak hanya untuk kepemilikan tanah dan lahan yang tidak dimanfaatkan, tetapi juga untuk apartemen yang tidak disewakan atau ditempati dan apartemen yang tidak laku terjual, serta pajak atas capital gain properti.

"Tidak dibilang batal. Tapi belum menjadi prioritas," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di kantornya, Senin (10/4).

Menurut Darmin, pemerintah masih ingin mengkaji lebih lanjut terkait mekanisme pengenaan pajak terhadap aset yang menganggur itu.

"Pajak seperti itu lebih complicated sehingga perlu lebih matang," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) Sofyan Djalil juga mengatakan bahwa tidak akan ada keputusan terkait pajak progresif untuk apartemen yang tidak dihuni dalam waktu dekat ini.

“Belum belum. Itu kami pikirkan kembali,” katanya.

Keputusan untuk menimbang kembali kebijakan ini menurut Sofyan adalah lantaran kondisi pasar di industri properti masih terpukul oleh pertumbuhannya yang melambat. Memang, industri properti nasional mengalami tekanan cukup berat sepanjang tahun 2016 lalu.

“Soalnya kondisi properti lagi sulit, jadi kita cool-down ide itu. Kan perlu dibahas lebih lanjut jadi belum bisa,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, kebijakan ini masih memerlukan pembahasan yang lebih lanjut. Ia menilai, kebijakan itu salah apabila pajak nantinya dibebankan kepada konsumen. Pasalnya, hal ini kontraproduktif dengan kebijakan pelonggaran kredit untuk mendorong pertumbuhan.

“Perlu lebih holistik. Disesuaikan dan diselaraskan dengan kebijakan lain,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×