kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini kata pengamat soal rencana revisi PPnBM


Senin, 26 Januari 2015 / 21:46 WIB
Ini kata pengamat soal rencana revisi PPnBM
ILUSTRASI. Cara mengetahui hp disadap.


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Rencana pemerintah untuk mengutip pajak barang mewah (PPnBM) terhadap sejumlah barang konsumsi ritel menuai kritik. Langkah ini bahkan dinilai sebagai ketidakmampuan pemerintah untuk mengail penerimaan pajak dari sektor yang lebih besar potensi pajaknya.

Pengamat Perpajakan dan Keuangan Negara Universitas Pelita Harapan (UPH) Rony Bako menuturkan, kebijakan tersebut berpotensi membuat masyarakat resah. Ini karena jenis barang yang dianggap mewah nantinya bisa diperdebatkan.

"Kebijakan ini terlalu mengada-ngada. Ini karena harga barang nantinya gak jelas, bisa naik tiba-tiba karena pedagang memasukan tambahan pajak ke harga jual barang. Ini bisa memberatkan industri dan menyebabkan inflasi," kata Rony, Senin (26/1).

Menurutnya, pemerintah harusnya lebih mengutamakan pengejaran pajak-pajak besar, kasus-kasus pajak,  aksi transfer pricing, carut marut restitusi dan perbaikan regulasi untuk meraih penerimaan pajak lebih besar, ketimbang mengurusi perluasan pengenaan PPnBM.

"Gak layaklah batu akik Rp 1 juta masuk barang mewah. Penerimaan yang didapat, tak sebanding dengan upayanya," ujarnya

Hal senada diungkapkan ahli Perpajakan dan Guru Besar Universitas Indonesia Gunadi. Ia menilai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) tak akan mampu melakukan pengawasan dengan baik seiring makin banyaknya jenis objek pajak baru. Pasalnya, sumber daya pegawai pajak masih kurang.

"Kalau mobil, pesawat terbang okelah dikenakan. Tapi sepatu, tas, emas, arloji, ponsel sampai batu akik dikenakan PPnBM, itu siapa yang mau mengawasi? Semakin banyak objek pajak, semakin sulit mengawasi. Tambahannya juga gak terlalu signifikan, dibanding usahanya. Lebih baik mengejar potensi pajak besar yang lain di pertambangan atau lainnya," kata Gunadi.

Soal PPn, ia menyarankan pemerintah untuk lebih dulu membenahi soal restitusi (pengembalian atas kelebihan bayar pajak) dari PPn yang dinilinya terlalu besar.

"Peneriman PPn mencapai sekitar Rp 400 triliun, masak restitusinya sampai Rp 100 triliun. Lebih dari 20% itu terlalu tinggi, Ditjen pajak harus cermati lagi apakah benar ekspor yang dilakukan. Banyak yang nakal," tuturnya.

Selain restitusi, ia juga mencermati masih minimnya pajak penghasilan dari Wajib Pajak Pribadi non karyawan. "WP Orang Pribadi non pegawai yang kaya-kaya itu cuma bayar Rp 5 triliun, padahal karyawan bisa bayar hingga Rp 94 triliun," ujarnya.

Menurutnya, dengan banyaknya barang mewah yang diturunkan level kemewahannya untuk dikenakan pajak, justru menggangu jalannya perekonomian masyarakat. Dengan pengenaan PPnBM yang diperluas, masyarakat bisa berfikir ulang untuk membeli suatu barang. Belum lagi jadi menimbulkan inflasi.

"Justru jadi menghambat perekonomian. Kalau pertumbuhan ekonomi dihambat, ya repot. Pajaknya juga jadi gak maju-maju. Fungsi dari PPnBM sebagai sarana keadilan pajak juga jadi berkurang," tuturnya.

Seperti diketahui, Kementerian Keuangan akan melakukan revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 253 Tahun 2008 tentang PPnBM.

Hal itu dilakukan untuk menggali lebih banyak pemasukan pajak. Sejumlah barang yang sebelumnya luput dari pajak pun bakal dikenakan pajak.

Selain rumah, apartemen, kondominium, kendaraan roda empat dan dua, beberapa barang yang sekarang dianggap barang mewah yang patut dipajaki di antaranya, perhiasan, jam tangan, sepatu, tas berharga mahal hingga batu akik.

Wakil Menteri Keuangan sekaligus Plt Dirjen Pajak Mardiasmo mengatakan, penetapan pajak barang mewah ini akan ditentukan berdasarkan harga dan per item.

"Batu akik kena (pajak), tapi yang harga jualnya di atas Rp 1 juta. Itu masuk pasal 22 pajak atas barang yang sangat mewah,” ujarnya.

Hanya saja, mengenai pengenaan tarifnya, ia belum menyebutkan angka pasti. Ia hanya memberi kisaran barang-barang tersebut akan dikenai pajak sebesar 0,5-1,5% dari harga jual. Pajak ini nantinya akan dikenakan pada badan atau perusahaan yang menjual, bukan dikenakan pada wajib pajak perorangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×