kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BKF: Definisi tanah menganggur masih rancu


Rabu, 01 Februari 2017 / 18:28 WIB
BKF: Definisi tanah menganggur masih rancu


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Pemerintah memiliki tiga program utama untuk memperkecil ketimpangan ekonomi, yaitu salah satunya adalah kebijakan pemerataan berbasis tanah.

Lewat program ini, pemerintah akan membatasi gerak para spekulan tanah. Ada dua cara yang bakal dipakai.

Pertama, dengan mengubah skema transaksi jual beli tanah dari saat ini menggunakan skema Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menjadi capital gain tax. Kedua, disinsetif atas tanah menganggur melalui pengenaan unutilized asset tax.

Menyoal capital gain tax yang dipertimbangkan sebagai mekanisme perpajakan tanah ini, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di Kementerian Keuangan, Goro Ekanto mengatakan, selama ini arah kebijakan tersebut memang menggunakan capital gain tax.

Capital gain tax itu sebenarnya untuk penjualan tanah bangunan. Kalau beli dengan harga beli sekarang, kemudian jual dengan harga jual yang lebih tinggi, nah itu selisihnya namanya capital gain.

"Dan itu di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2016 sudah diterapkan seperti itu, tarif yang sekarang di PPh final, cuma selama ini NJOP,” katanya kepda KONTAN, Rabu (1/2).

Namun demikian, Goro mengatakan bahwa definisi tanah menganggur itu sendiri saat ini masih rancu sehingga masih harus didiskusikan lebih lanjut.

Dia mengatakan, ada kemungkinan bahwa sebuah tanah yang kosong adalah tanah sengketa atau ada kemungkinan-kemungkinan lainnya.

“Ini masih didiskusikan, tapi itu bisa dikenakan dengan capital gain. Arahnya demikian. PP kita yang baru pun sudah harga yang sebenarnya, artinya dikenakan terhadap harga yang sebenarnya,” katanya.

Selain itu, ia juga menyoroti apakah pajak ini akan memberatkan beberapa pihak yang memiliki tanah, “Misalnya orang punya tanah satu, misalnya warisan, memberatkan atau tidak perlu dikaji lagi,” ujarnya.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×