kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Alot, pembahasan aturan produk halal


Selasa, 25 September 2012 / 07:29 WIB
Alot, pembahasan aturan produk halal
ILUSTRASI. Bank-bank besar mampu menumbuhkan pertumbuhan laba yang pesat di semester I 2021.


Reporter: Fahriyadi | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal sudah masuk tahun ketiga, tapi belum juga ada tanda-tanda kapan akan kelar. Padahal, pengesahan beleid ini sangat mendesak sehingga produk-produk yang beredar di negara kita terjamin mutu serta kesehatannya.

Sebab, produk halal bukan hanya dilihat dari bahan baku, tapi juga proses pembuatan yang bisa mempengaruhi kehalalan suatu produk makanan, minuman, dan kosmetik. Jazuli Juwaini, anggota Panitia Kerja RUU Jaminan Produk Halal, mengungkapkan, penggodokan calon aturan ini sangat alot karena masih terjadi tarik-ulur kepentingan di beberapa poin krusial.

Pertama, lembaga tunggal yang mengeluarkan sertifikasi halal. Kedua, peran dan fungsi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam lembaga tunggal sertifikasi halal. Ketiga, sifat pemberlakukan halal, apakah wajib atau sukarela.

Keempat, peran pengawasan dengan melibatkan masyarakat di lembaga sertifikasi halal. "Empat poin ini yang masih alot dibahas. Namun, kami terus mencari titik temu dengan pemerintah," kata Jazuli, Senin (24/9).

Menurut Jazuli, pemerintah meminta lembaga atau badan sertifikasi halal berada di bawah Kementerian Agama (Kemag). Sedangkan DPR mendesain lembaga itu independen dan bertanggungjawab langsung ke presiden. "Karena kewenangannya lintas kementerian, akan sulit kalau berada di bawah Kemag. Nanti koordinasinya bagaimana?" tanya politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Soal peran ulama dalam sertifikasi produk halal, Jazuli menegaskan, tidak boleh diamputasi. Makanya, DPR meminta auditor yang mendapat tugas mencek produk yang bakal disertifikasi merupakan rekomendasi dari MUI. "Sementara pemerintah ingin melibatkan ulama sebatas pada sidang isbat seperti penentuan 1 Ramadan atau 1 Syawal," ungkap dia.

DPR dan pemerintah juga belum menemukan titik temu soal sifat sertifikasi halal: wajib atau sukarela. Alhasil, sebagai jalan tengah bisa diambil opsi voluntary dalam beberapa tahun dan mandatory di tahun berikutnya.

Soal pengawasan, Jazuli bilang, DPR meminta elemen masyarakat bisa masuk dalam lembaga sertifikasi halal. "Sehingga, kedudukan regulator, operator, dan pengawas, semua jelas," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×