Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai wacana pemerintah untuk menghapus hasil tes cepat (rapid test) atau tes polymerase chain reaction (PCR) sebagai syarat untuk bepergian menggunakan angkutan udara atau angkutan darat, tidak menjamin adanya peningkatan mobilitas masyarakat bepergian di masa pandemi.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, setelah masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilonggarkan dan kuota transportasi dinaikkan secara bertahap, peningkatan penumpang hanya terjadi sebesar 16% saja.
"Masyarakat belum memiliki minat bepergian menggunakan transportasi udara, hingga darat karena masih banyaknya kasus corona (Covid-19) saat ini. Tetapi, di sisi lain, dihapuskannya syarat test PCR dan rapid ini tidak berpengaruh besar bagi transportasi darat karena sejak awal memang longgar pendeteksian penumpang melalui jalur darat, misalnya tol," jelas Tulus saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (9/8).
Baca Juga: Harga mulai Rp 1,7 juta, ini biaya rapid test dan swab test di Indonesia
Ia menambahkan, secara teori banyak orang memilih jalur tol untuk bepergian karena longgarnya sistem pemeriksaan kesehatan, tidak seperti yang digalakkan pada transportasi udara, hingga kereta api.
Namun begitu, Tulus menegaskan, saat ini sebaiknya pemerintah fokus pada usaha menekan penyebaran wabah alih-alih mengeluarkan wacana penghapusan syarat tes PCR dan rapid test bagi penumpang.
"Mengapa? Karena sejak awal rapid test tidak efektif mendeketeksi Covid-19, presisinya kurang dari 20%. Sedangkan test PCR lebih presisi, namun dari sisi harga lebih mahal, bahkan lebih mahal dari harga tiket. Selain itu hasil tes diketahui beberapa hari kemudian. Ini menahan orang bepergian," ujarnya.
Ia menambahkan, Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) juga tidak pernah mengemukakan syarat melakukan tes PCR dan Rapid bagi warga yang hendak bepergian ke luar kota. Syarat tersebut dipenuhi bagi yang ingin melakukan perjalanan ke luar negeri, terutama bagi negara yang mewajibkan syarat tersebut.
WHO sendiri menekankan pada aturan menjauhi kerumunan dan jaga jarak atau physical distancing bagi setiap orang.
Dengan demikian, Tulus menilai saat ini pemerintah masih mengedepankan permasalahan ekonomi alih-alih menekan kasus Covid-19.
"Tidak dipungkiri ini persoalan dilematis sebab Covid-19 melumpuhkan roda ekonomi, namun alangkah bijak jika pemerintah juga membereskan urusan pandemi terlebih dulu," ujarnya.
Tulus bahkan berkata, pemerintah saat ini perlu memberlakukan kembali PSBB bagi daerah-daerah dengan kasus Covid-19 tertinggi, sebelum memaksakan semua daerah berfungsi total.
"Ini juga berkenaan dengan buruknya komunikasi pemerintah, istilah new normal diterjemahkan menjadi Normal oleh masyarakat. Kesannya kasus COVID-19 tidak ada lagi. Ini sangat ironis karena di tengah kasus yang makin meningkat, kesadaran masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan malah semakin menurun. Sehingga menurut saya, masyarakat tidak perlu bepergian dulu," ujarnya.
Baca Juga: Pengamat: Surat keterangan bebas Covid-19 hanya menjadi kelengkapan administratif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News