kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.956.000   25.000   1,29%
  • USD/IDR 16.539   -84,00   -0,51%
  • IDX 6.947   48,63   0,70%
  • KOMPAS100 1.006   5,27   0,53%
  • LQ45 778   3,68   0,48%
  • ISSI 222   1,85   0,84%
  • IDX30 403   1,92   0,48%
  • IDXHIDIV20 475   0,54   0,11%
  • IDX80 114   0,61   0,54%
  • IDXV30 116   0,49   0,42%
  • IDXQ30 131   -0,08   -0,06%

YLBHI: Putusan MK soal UU Cipta Kerja tidak tegas dan menggantung


Kamis, 25 November 2021 / 21:57 WIB
YLBHI: Putusan MK soal UU Cipta Kerja tidak tegas dan menggantung
ILUSTRASI. Ketua Majelis Hakim Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Aswanto (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang putusan gugatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.


Reporter: Khomarul Hidayat | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ikut menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Undang-Undang Cipta Kerja.

MK dalam amar putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan MK diucapkan.

MK juga menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.

MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU No. 11 Tahun 2020 maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

Baca Juga: Putusan MK soal UU Cipta Kerja diprediksi dampaknya akan netral ke pasar modal

MK juga menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
 
Atas putusan ini, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (25/11), YLBHI dan 17 LBH Se-Indonesia menyatakan bahwa dari putusan MK ini jelas pemerintah dan DPR telah salah, yakni  melanggar konstitusi dan melanggar prinsip pembuatan UU. Walaupun putusannya inkonstitusional bersyarat dimana pemerintah diberikan kesempatan untuk memperbaiki. 

"Tetapi putusan MK menggambarkan kekeliruan yang prinsipil," sebut YLBI.

YLBHI meminta pemerintah tidak bisa memberlakukan dulu UU Cipta Kerja dan menghentikan segala proses pembuatan dan penerapan semua aturan turunannya. 

Pemerintah telah kehilangan legitimasi dalam menerapkan/melaksanakan UU Cipta Kerja. Padahal saat ini UU Cipta Kerja telah diberlakukan beserta seluruh PP turunannya. 

Maka, tulis YLBHI, penting untuk menghentikan segera UU ini dan seluruh PP turunannya demi mencegah timbulnya korban dari masyarakat dan lingkungan hidup.

YLBHI dan 17 LBH se-Indonesia meminta pemerintah menghentikan segera proyek-proyek strategis nasional yang telah merampas hak-hak masyarakat dan merusak lingkungan hidup.

Menurut YLBHI, jauh sebelum MK menyatakan UU Cipta Kerja melanggar Konstitusi, berbagai kelompok masyarakat di banyak wilayah dengan berbagai pekerjaan dan latar  belakang telah mengatakan Omnibus Law UU Cipta Kerja melanggar Konstitusi, tapi pemerintah bergeming. 

Pemerintah dan DPR harus menyadari kesalahan, bahwa terdapat kesalahan mendasar dalam pembentukan perundang dan tidak mengulangi, karena kekeliruan seperti ini juga dilakukan di UU KPK, UU Minerba, UU MK, dan banyak peraturan perundang-undangan lainnya  baik secara prosedur maupun isi.

YLBHI juga menilai, putusan MK ini adalah putusan kompromi. Putusan MK menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima, dan hanya mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian. 

Kemudian, meskipun menyatakan bertentangan dengan UUD tetapi MK memberikan putusan yang menggantung atau tidak berani lurus dan tegas dengan logika hukum dan UU MK.  Seharusnya MK membuat putusan dengan menyatakan “Batal” saja, sehingga tidak membuat bingung dan mentoleransi pelanggaran. 

Ini juga  membuat kondisi yang tidak mudah dipenuhi, dan malah menimbulkan ketidakpastian hukum. Bahkan 4 dari 9 hakim menyatakan dissenting dalam arti berpendapat UU Cipta Kerja sesuai dengan Konstitusi. 

"Putusan MK ini seolah menegaskan kekhawatiran masyarakat sipil terhadap MK yang tunduk pada eksekutif menjadi terbukti," sebut YLBHI.

Baca Juga: MK seharusnya batalkan UU Cipta Kerja karena inkonstitusional

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×